Senin, 09 Januari 2012

SARTONO KARTODIRDJO DAN PEMBERONTAKAN PETANI BANTEN; Suatu Tinjauan Historiografi (Karya Dr. Agus Mulyana, M.Hum)


Pendahuluan

Salah satu masalah penting dalam studi ilmu sejarah adalah menyangkut historiografi. Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu sejarah memiliki dasar dan struktur. Fakta adalah dasar pengetahuan sejarah dan historiografi sebagai struktur pengetahuan sejarah (R.Z. Leirisa, 1993 : 2). Penulisan sejarah adalah puncak segala-galanya sebab apa yang dituliskan itulah sejarah yaitu historie-recitie, sejarah sebagaimana dikisahkan yang mencoba menangkap dan memahami historie-realitie, sejarah sebagaimana terjadinya dan hasil penulisan sejarah inilah yang disebut historiografi (Taufik Abdullah, 1985 : xv). Menurut Hexter historiografi sebagai kemahiran menulis sejarah atau penulisan tersebut ditinjau dari aspek retorikanya (Hexter, 1985 : 249).
Dari pengertian tersebut di atas penulis melihat bahwa dalam historiografi terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh sejarawan yaitu penggunaan fakta sebagai sumber, kemahiran menulis, kemahiran menstruktur fakta-fakta dalam bentuk tulisan sejarah dan kemampuan si sejarawan dalam menggunakan metode, pendekatan serta teori apa yang digunakan dalam menampilkan sejarah sebagai suatu tulisan ilmiah. Corak penulisan sejarah akan ditentukan pula oleh darimana asalnya sejarawan tersebut dan setiap negara memiliki perkembangan penulisan sejarah yang berbeda, tergantung dari bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan yang ada di negara tersebut.
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba melakukan analisis historiografis terhadap sejarawan dan karya sejarahnya yaitu Sartono Kartodirdjo dan karyanya yang sangat dikenal yaitu “Pemberontakan Petani Banten 1888”. Dasar analisis yang dipakai oleh penulis sebagaimana pemahaman historiografi yang telah dijelaskan sebelumnya.

Klasifikasi Historiografi

Perkembangan historiografi di Indonesia tidak lepas dari latar belakang sejarah bangsa ini sebagai bangsa yang pernah dijajah. Tradisi penulisan sejarah Indonesia bermula banyak ditulis oleh orang Belanda, misalnya buku yang ditulis oleh .F.W. Stapel dan kawan-kawannya yang berjudul “Gechiedenis van Nederlandsch-Indie (5 jilid)”. Buku ini cukup kaya informasi terutama tentang sejarah Indonesia pada masa penjajahan. Penulisan sejarah yang dilakukan oleh orang Belanda mencerminkan “xenocentris” atau melihat sejarah Indonesia dari kaca mata penjajah (Sartono Kartodirdjo, 1992 : 185).
Penulisan sejarah yang didasarkan tradisi kolonial sudah barang tentu tidak memperlihatkan objektivitas dari kaca mata Indonesia sendiri. Upaya yang dilakukan dalam penulisan sejarah (historiografi) dan ditulis oleh bangsa Indonesia sendiri pertama kali dilakukan oleh Hoesen Djayadiningrat yang menulis mengenai Banten.  Djayadiningrat bisa disebut sebagai pioner historiografi modern (Taufik Abdullah, 1985 : 50).
Perkembangan kemudian penulisan sejarah di Indonesia, banyak ditulis oleh bangsa Indonesia sendiri, walaupun tidak sedikit karya-karya sejarah ditulis oleh orang yang tidak berlatar belakang pendidikan sejarah. Dalam hal ini Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomiharjo mengklasifikasi penulisan sejarah di Indonesia menjadi 3 jenis (Taufik Abdullah, 1985 : 27-29). Pertama jenis “sejarah ideologis”, yaitu penulisan yang bertitik tolak pencarian arti subjektif dari peristiwa sejarah. Masa lampau dipelajari bukan demi pengetahuan masa lampau, tetapi demi lambang yang bisa diadakannya untuk masa kini. Contoh penulisan sejarah dalam jenis pertama ini seperti Mohammad Yamin mengenai sejarah kuno Indonesia, Ruslan Abdul Gani mengenai sejarah pergerakan nasional dan Nugroho Notosusanto mengenai sejarah militer Indonesia.
Jenis kedua yaitu “Sejarah Pewarisan”. Ciri utama penulisannya adalah kisah kepahlawanan perjuangan kemerdekaan. Pelajaran yang dapat diambil dari karya-karya semacam ini adalah betapa para patriot Indonesia berjuang menentang hambatan-hambatan serta menderita kesulitan fisik dan psikis demi mencapai kemerdekaan. Contoh penulisan seperti ini ialah buku “Sekitar Perang Kemerdekaan” (11 jilid), yang ditulis oleh Abdul Haris Nasution (Jenderal Purnawirawan).
Jenis ketiga adalah “Sejarah Akademik”. Penulisan semacam ini tidak bersifat ideologis dan filosofis, akan tetapi memberikan gambaran yang jelas mengenai masa silam yang ditopang dengan tradisi akademik. Tulisan semacam ini tidak semata-mata dibuat dalam bentuk kisah, melainkan cenderung bersifat struktural, cenderung “holistik”. Menggunakan pendekatan ilmu sosiologi, antropologi, ilmu politik dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Contoh penulisan sejarah semacam ini adalah karya Sartono Kartodirdjo tentang “Pemberontakan Petani Banten 1888”, Soemarsaid Moertono tentang “Negara dan Pemerintahan masa Jawa Lama (1968)”, Harsya Bachtiar mengenai “Nation Indonesia”, Deliar Noer mengenai “Gerakan Modernisme Islam di Indonesia (1973)” dan disertasi Alfian mengenai “Muhammadiyah di Masa Penjajahan (1970)”.


Biografi Sartono Kartodirdjo 

Latar belakang kehidupan seseorang akan memperlihatkan bagaimana orang tersebut dalam menulis karyanya. Oleh sebab itu menurut penulis amatlah penting sebelum membahas hasil karya tulisan Sartono Kartodirdjo, terlebih dahulu diuraikan biografinya dan memperkenalkan beberapa buah karyanya.
Sartono Kartodirdjo lahir di Wonogiri 15 Februari 1921. Dia adalah Guru Besar Ilmu Sejarah pada Universitas Gadjah Mada dan anggota Dewan Riset Nasional. Tamat dari Jurusan Sejarah Universitas Indonesia tahun 1956, ia melanjutkan studi dan memperoleh gelar MA dari Yale University, Amerika Serikat dibawah bimbingan Prof.Hary J. Benda. Pada tahun 1966 meraih gelar doktor dari Universitas Amsterdam dengan Promotor Prof. Wertheim dari Departemen of Sociology and Modern History of Southeast Asia, Universitas Amsterdam dengan disertasi yang berjudul “The Peasant’s Revolt of Bantam in 1888” berhasil dipertahankan dengan predikat cum laude. Karya tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Pemberontakan Petani Banten 1888”.
Pengalaman dalam jabatan forum ilmiah antara lain Ketua Umum Seminar Sejarah Nasional II (1970); President International Conference of International Association for History of Asia (IAHA) tahun 1971-1974; aktif dalam berbagai konfrenesi IAHA di Singapura (1961); Kuala Lumpur (1968), dan Manila (1971); Oriental Conggres di Canberra (1971) dan Paris (1973); serta mengikuti Seminar on Peasant Organization di New York (1975).
Prof. Sartono Kartodirdjo termasuk sejarawan yang memiliki reputasi nasional maupun internasional. Ia seorang sejarawan yang sangat produktif, banyak menulis karya ilmiah baik yang diterbitkan di dalam maupun di luar negeri. Banyak menulis dalam media massa maupun jurnal-jurnal ilmiah. Diantara karya-karyanya seperti “Agrarian Radicalism” dalam Claire Holt (Ed),”Culture and Politics”, Ithaca, Cornel University Press, 1972; “Protest Movement in Rural Java A Study of Agrarian Unrest in the Nineteenh and Early Twentieth Centuries”, Oxford University Press, 1973; “Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif”, Gramedia, Jakarta, 1982; “Masyarakat Kuno dan Kelompok-Kelompok Sosial”, Bhatara Karya Aksara, 1947; “Elite Dalam Perspektif Sejarah”, LP3ES, Jakarta, 1981; “Ratu Adil”, Jakarta, Sinar Harapan, 1984; “Modern Indonesia Traditional & Tranportation A Social-History Perspective”, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1984; “Ungkapan-ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur”, Jakarta, Gramedia, 1986; “Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 ; Dari Emporium Sampai Imperium, Jilid 1”, Jakarta, Gramedia, 1987; “Pengantar Sejarah Indonesia Baru ; Sejarah Pergerakan Nasional, Jilid 2”, Jakarta, Gramedia, 1991; dan “Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah”, Jakarta, Gramedia, 1992.





Sartono Kartodirdjo dan “Pemberontakan Petani Banten 1888”

Setelah menguraikan latar belakang kehidupan Sartono Kartodirdjo, berikut ini akan penulis sajikan tinjauan historiografi terhadap karya sejarahnya. Buku yang akan penulis kaji yaitu “Pemberontakan Petani Banten 1888”.
Menurut Taufik Abdullah, pengerjaan sejarah sebagai usaha rekonstruksi hari lampau itu hanyalah mungkin dilakukan apabila “pertanyaan pokok” telah dirumuskan. Dalam usaha mencari jawaban terhadap pertanyaan pokok itulah ukuran penting atau tidaknya bisa didapatkan (Taufik Abdullah, 1985 : xii).
Dalam menganalisis pemberontakan Petani Banten tahun 1888, Sartono mengawalinya dengan pertanyaan pokok yang merupakan rumusan masalah dari penelitiannya, yaitu dari lapisan-lapisan manakah peserta gerakan itu diangkat dan digerakkan ? Dari lapisan mana para pemimpinnya ? Bagaimana kedudukan sosial ekonomi mereka pada umumnya ? (Sartono Kartodirdjo, 1984 : 34).
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Sartono kemudian mengkaji pemberontakan Petani Banten dengan melihat struktur. Untuk menjelaskan peristiwa tersebut maka Sartono menggunakan alat bantu dari teori-teori ilmu sosial. Dengan demikian model penulisan sejarah ini memperlihatkan sebagai suatu penulisan sejarah ilmiah. Bahkan dapat dikatakan bahwa buku Sartono ini merupakan suatu model penulisan sejarah ilmiah yang pertama kali di Indonesia.
Pendekatan Sartono dalam menganalisis peristiwa sejarah merupakan pendekatan yang dilakukan oleh aliran Analles School. Aliran ini bermula merupakan sekelompok sejarawan di Perancis yang menerbitkan suatu Jurnal Ilmiah yang bernama “Analles: economies, societes, civilization”. Kelompok ini didirikan oleh Lucien Febre dan Marc Bloch pada tahun 1929. Karakteristik pemikiran aliran ini ialah bahwa sejarawan dalam penulisannya harus mengurangi penekanan kebiasaan narative khususnya yang bersifat politik, kejadian atau peristiwa yang bersifat kronologis, dan harus lebih banyak menekankan pada analisis, struktur dan kecendrungan (la longe durie). Kelompok ini juga percaya bahwa pendekatan sejarah dari aspek ekonomi, sosial kultural dan politik harus diintegrasikan ke dalam "Sejarah Total" sehingga sejarawan membutuhkan bantuan ilmu-ilmu sosial (Allan Bullock, 1988 : 35).
Teori ilmu sosial yang dipakai Sartono dalam menjelaskan pemberontakan yaitu sosiologi Neil J. Smelser. Teori Smelser yang dipakai yaitu Theory of Colective Behavior.  Dalam hal ini pemberontakan diartikan sebagai perilaku kolektif. Menurut Smelser perilaku kolektif adalah tingkah laku yang bertujuan mengubah lingkungan sosial, yang didasarkan pada keyakinan tertentu bahwa situasi perlu dan dapat diubah.
Dalam usaha melihat faktor penyebab peristiwa pemberontakan Banten, Sartono menggunakan determinan-determinan dari teori kolektif-nya Smelser yaitu 1)Structural conducifness, 2)Structural strain, 3)Generalized believe, 4)Mobilization for action, 5)Precipitating factor, 6)Lack social control. 
Sartono Kartodirdjo dalam melihat faktor penyebab pemberontakan petani Banten sebagai suatu determinan penyebab yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Ada hubungan sebab akibat antar faktor tersebut, yang dalam eksplanasi sejarah menurut Angkersmit disebut Causalitas  (Angkersmit, 1987 : 161).
Untuk mencari determinan-determinan penyebab pemberontakan, terlebih dahulu Sartono melihat kondisi sosial ekonomi Banten pada awal abad ke XIX. Walaupun Banten merupakan suatu wilayah yang dikelilingi oleh pantai, akan tetapi faktor agrarispun menjadi aset ekonomi yang penting bagi kerajaan. Sebagaimana lazimnya negara agraris, faktor tanah merupakan faktor yang penting bagi kesejahteraan penduduknya.
Di Banten pada masa itu terdapat tanah yang dianugerahkan oleh Sultan yang dinamakan sawah ganjaran atau pusaka laden. Istilah jenis ini bisa berbeda-beda sesuai dengan orang yang menerima hadiah yaitu kawargaan, jika tanah itu diberikan kepada anak Sultan dari istri-istrinya yang sah; kanayakan jika diberikan kepada anak-anak Sultan dari selirnya atau kepada orang-orang kesayangan Sultan; pangawulaan, jika dihadiahkan kepada  pejabat-pejabat yang selama masa jabatan mereka (Sartono Kartodirdjo, 1984 : 59-60). Sedangkan rakyat banyak yang menjadi pekerja pada tanah-tanah tersebut.
Pada masa Daendels 1808 pemilikan tanah Sultan dihapuskan, sedangkan pada masa Raffles tanah pusaka dipungut pajaknya dalam bentuk sewa tanah. Mereka yang memiliki tanah pusaka tersebut mendapat ganti rugi. Kebijakan seperti ini ternyata tidak memberikan kepuasan  terhadap anggota kerabat dan pejabat-pejabat Sultan, karena banyak dikorupsi oleh para pamongpraja (hlm. 61).
Kedudukan petani atau rakyat biasa pada masa kesultanan banyak yang menyerahkan tenaganya untuk bekerja pada tanah-tanah pusaka, menjadi pelayan rumah dengan status abdi. Bahkan para abdi ini banyak pula yang mengerjakan fasilitas-fasilitas umum, seperti pembuatan jalan dan lain-lain. Setelah kesultanan dihapuskan pada tahun 1810, hak-hak dan kewajiban para petani tidak berubah. Bahkan para petani ini banyak yang dipekerjakan secara paksa pada tanah-tanah yang dimiliki oleh para Aristokrat. Keadaan seperti ini menjadi beban penderitaan bagi petani.
Perubahan-perubahan kondisi sosial ekonomi lebih banyak diakibatkan oleh penetrasi ekonomi Barat yang kemudian diterapkan pada administrasi pemerintahan. Perubahan pola administrasi dari tradisional ke modern ini banyak menimbulkan sumber konflik. Tinjauan terhadap kondisi sosial ekonomi ini merupakan upaya Sartono untuk melihat determinan penyebab dari Structural Condusifness.
Pemerintah kolonial mendasarkan mekanisme administrasinya pada model Barat dan mengubah sebagian dari personil Sultan atau anggota-anggota keluarga menjadi birokrat-birokrat. Pada mulanya pemerintah kolonial merekrut pejabat-pejabat pemerintahan dari golongan bangsawan, dengan harapan dapat memudahkan hubungan dengan rakyat. Akan tetapi cara seperti ini tidak efektif  karena sering banyak terjadi korupsi. Kemudian Pemerintah Kolonial mengubah kebijakan dengan cara merekrut mereka yang benar-benar profesional dalam pemerintahan yang didasarkan pada perorangan. Perubahan kebijakan ini menimbulkan suatu konflik antara kaum bangsawan yang lama terhadap pemerintahan kolonial (hlm. 77-78). Selain itu pula semakin meningkatnya pengawasan politik oleh pihak Belanda telah menimbulkan rasa tersingkir dan frustasi yang mendalam di kalangan kaum elite agama dengan golongan bangsawan yang tersingkir (hlm. 35). Hal ini diperlihatkan oleh Sartono dengan tampilnya Kyai Haji Tubagus Ismail. Dia adalah bangsawan Banten yang bersama-sama pemimpin agama memimpin pemberontakan (hlm. 263-265). Penggambaran Sartono terhadap kondisi konflik yang menimbulkan ketegangan antara elite politik dan elite agama terhadap penjajah, merupakan penjelasan terhadap determinan penyebab “Structural Strain”.
Banten dikenal masyarakatnya fanatik beragama Islam. Kesultanan Banten didirikan dalam tahun 1520 oleh pendatang-pendatang yang beragama Islam dari Demak. Sebagaimana lazimnya di Pulau Jawa, penyebaran Islam melalui pesantren-pesantren dan tarekat yang berfungsi sebagai gerakan Pan-Islamisme (hlm. 222). Di pesantren selain dididik pengetahuan keagamaan juga kepada para santrinya ditanamkan semangat anti kepada penjajah sebagai pemerintahan kafir.
Semangat keagamaanpun ditanamkan melalui gerakan tarekat. Gerakan ini merupakan alat yang baik sekali untuk mengorganisasikan gerakan keagamaan dan menyelenggarakan indoktrinasi tentang cita-cita kebangkitan kembali. Di Pulau Jawa pada abad XIX hanya ada tiga tarekat yaitu Naksabandiyah, Kadariyah dan Syatariyah. Tarekat ini melakukan perluasan pengaruhnya dengan jalan memperbanyak pengikut dan menyalurkan semua otoritas ke tangan guru tarekat. Di lembaga ini ditanamkan pembentukan solidaritas kelompok melalui revitalisasi ritual-ritual dan upacara religio-mistik (hlm. 222-226).
Pada saat terjadi pemberontakan, pesantren dan gerakan tarekat memiliki peran yang strategis yaitu sebagai mobilisasi dan penyaluran massa. Analisis Sartono terhadap pesantren dan gerakan tarekat merupakan upaya mencari determinan penyebab “mobilization for action”.    
“Precipitating factor” sebagai penyebab determinan pemercepat pemberontakan, Sartono melihat pada ambruknya tatanan tradisional dan gejala yang menyertainya yakni keresahan sosial yang terus menerus, telah mendorong peningkatan kegiatan keagamaan. Tahap perkembangan yang telah dicapai dalam tahun-tahun delapan puluhan menginsyaratkan behwa gerakan keagamaan itu berusaha untuk membenarkan aspirasi-aspirasi politik. Dan di satu pihak terdapat rasa ketersingkiran politik dan di lain pihak terdapat reafirmasi tradisi. Masyarakat kaum elite agama, yang telah kehilangan hak-hak mereka di bidang politik, bertindak sebagai sebuah golongan protes, yang menentang lembaga-lembaga baru (hlm. 208).
Dalam suatu pemberontakan biasanya terdapat suatu sistem nilai yang turut memberikan semangat secara spiritual terhadap meledaknya pemberontakan. Dalam kasus pemberontakan Banten, Sartono melihat determinan penyebab ini dengan timbulnya semangat Perang Sabil. Ambruknya tatanan sosial kesultanan akibat penetrasi kolonial, mengakibatkan timbulnya cita-cita masyarakat untuk membangun kembali tatanan lama yang telah ambruk dalam bentuk harapan akan kedatangan Mahdi (hlm. 232). Perang Jihad sebagai upaya untuk membangun dar al-islam dalam manifestasi kesultanan lama (hlm. 235). Identifikasi terhadap fenomena datangnya mahdi atau sering disebut Ratu Adil merupakan analisis dari Sartono dalam mencari determinan “Generalized Believe”. 
Pengawasan yang ketat terhadap gerak langkah para elite agama oleh pemerintah kolonial, tidaklah membuat sikap para elite agama dalam hal semangat keagamaan terhadap masyarakat terhenti. Di antara para pemimpin elite keagamaan sering melakukan pertemuan-pertemuan informal untuk membahas rencana pemberontakan, misalnya melalui pernikahan, sunatan, dan lain-lain (hlm. 289).
Pertemuan informal elite agama tersebut merupakan indikator dari determinan “Lack Social Control”, artinya pemerintah kolonial kurang melakukan kontrol sosial terhadap pertemuan-pertemuan para elite agama tersebut yang membicarakan persiapan pemberontakan.
Dengan menganalisis secara historiografi terhadap karya Sartono Kartodirdjo tersebut, penulis melihat bahwa Sartono Kartodirdjo dalam menganalisis Pemberontakan Banten 1888, seluruh determinan  penyebab pemberontakan dari teori perilaku kolektif Smelser dapat diterapkan.

Selasa, 03 Januari 2012

IMF dan Upaya Pemulihan Perekonomian Indonesia pada Krisis Moneter 1991-1999


Pendahuluan
Setelah berakhirnya PD II, gerakan nasionalisme di negara-negara berkembang menjadi sulit dibendung, satu persatu negara-negara jajahan memerdekakan dirinya atau diberi kemerdekaan oleh penjajahnya. Bangkitnya semangat nasionalisme ini sangat menyulitkan penjajah di manapun juga, sehingga negara-negara kolonialis mulai merubah policy-nya dari penguasaan secara langsung menjadi penguasaan secara tidak langsung khususnya dalam bidang politik dan ekonomi.
Salah satu teknik yang dapat dijadikan alat untuk penguasaan ekonomi negara dunia ketiga adalah apa yang kita kenal sebagai Ekonomi Politik. Dalam pengertian umum, ekonomi politik adalah hubungan ekonomi antar negara yang sarat dengan nuansa kepentingan politik negara yang bersangkutan. Salah satu contoh dalam ekonomi politik adalah bantuan suatu negara kepada negara lain, yang dibalik bantuan tersebut tersirat tujuan untuk: “menggemukkan sapi agar dapat diperah susunya”.
 Peran IMF di Indonesia dimulai ketika presiden Soekarno memainkan peran non blok ditengah pertarungan kuasa antara Amerika dan Soviet yang semakin meningkat, peran tersebut dapat dimainkan dengan cantik oleh Soekarno dengan dukungan dari negara-negara dunia ketiga, Peran IMF di Indonesia dimulai ketika presiden Soekarno memainkan peran non blok ditengah pertarungan kuasa antara Amerika dan Soviet yang semakin meningkat, peran tersebut dapat dimainkan dengan cantik oleh Soekarno dengan dukungan dari negara-negara dunia ketiga, namun kedua blok yang bertarung kuasa tersebut mendesak Soekarno untuk memilih satu diantara dua. Amerika menggunakan IMF sebagai alatnya, pada tahun 1962 delegasi IMF mengadakan kunjungan ke Indonesia untuk menawarkan proposal bantuan finansial dan kerjasama, setahun kemudian tepatnya pada bulan maret 1963 Amerika Serikat menyediakan utang sebesar US$ 17 juta dan dalam dua bulan kemudian pemerintah Indonesia mengumumkan rangkaian kebijakan ekonomi baru (devaluasi rupiah, anggaran negara yang ketat dan pemotongan subsidi) yang selaras dengan resep kebijakan IM
Namun keadaan berubah 180 derajat pada bulan September 1963, ketika pemerintah Inggris menyatakan Malaysia sebagai bagian federasi Inggris tanpa konsultasi terlebih dahulu. Soekarno melihat pernyataan tersebut adalah upaya untuk menggangu stabiltas kawasan Asia Tenggara terutama karena Malaysia secara geografis sangat dekat dengan Indonesia, selain itu Soekarno juga melihat hal ini dipicu karena Indonesia menasionalisasi perusahaan-perusahaan Inggris . Insiden ini berimbas terhadap hubungan Indonesia dengan IMF, sesepakatan sebelumnya dengan IMF dibatalkan oleh Soekarno.
            Krisis Ekonomi yang menghantam Indonesia pada pertengahan 1997 mengakibatkan utang Indonesia, baik itu utang luar negri pemerintah maupun swasta membumbung tinggi karena melemahnya rupiah. Akibat dari krisis tersbut, sejak tahun 1998, pemerintah memiliki utang dalam negeri berbentuk obligasi. Utang itu dipergunakan untuk membiayasi rekapitulasi dam restrukturisasi perbankan yang hamper bangkrut.
Dalam hal ini, IMF muncul bak pahlawan yang akan menjadi penyelamat perekonomian Indonesia dalam bentuk pinjaman. namun, pada kenyatannya, utang kepada IMF tidak hanya banyak memberikan kebaikan pada masayrakat, malah utang Indonesia menjadi smeakin menggunung. Pendekatan yang digunakan oleh IMF keseluruh dunia relative sama yaitu melalui program Financial Programming. Lewat pinjamannya, IMF sebenarnya hanya menbambah beban uatnag untuk mendukung posisi neraca pembayaran. Krena itu, perbaikan yang dilkaukna iMF bersifat semu karena bukan hasil peningkatan aliran modal swasta maupun peningkatan ekspor netto.
Berdasarkan urioan tersebut, mwajar jika muncul pertanyaan dalam diri kita, masih relevankah jika Indonesia masih bergantuing kepada IMF? Meskipun saat ini Presiden SBY telah berusaha untuk memutuskan hubungan dengan IMF. Namun masih saja banyak pakar ekonomi yang mengganggap pinjama dana IMF itu masih diperlukan.

Sejarah Singkat IMF
IMF (International Monetery Fund)  adalah lembaga keuangan internasional yang didirikan olehnegara-negara barat pemenang Perang Dunia II. IMF lahir dari sebuah pertemuan yang bernama KOnferensi tentang  Sistem Moneter dan Keuangan di kota Breton Woods, New Hamshire, Amerika Serikat pada tahun 1944.Berdirinya lembaga keuangan tersebut bertujuan untuk memulihkan perekonomian bagi Negara-negara Eropa Barat yanghancur akibat perang. Berdirinya IMF juga mempunyai misi untuk memberikan bantuan kepada Negara-negara yang tengah mengalami kesulitan likuidasi keuangan atau menghadapi masalah moneter (ZA. Maulani, 2003: 183). Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) adalah organisasi internasional yang bertanggungjawab dalam mengatur sistem finansial global dan menyediakan pinjaman kepada negara anggotanya untuk membantu masalah-masalah keseimbangan neraca keuangan masing-masing negara. Salah satu misinya adalah membantu negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi yang serius, dan sebagai imbalannya, negara tersebut diwajibkan melakukan kebijakan-kebijakan tertentu, misalnya privatisasi badan usaha milik negara. Dari negara-negara anggota PBB, yang tidak menjadi anggota IMF adalah Korea Utara, Kuba, Liechtenstein, Andorra, Monako, Tuvalu dan Nauru
Lembaga itu kemudian berkembang menjadi lembaga multilateral yang (konon) diharapkan mendorong terciptanya kerjasama keuangan internasional, mendorong ekspansi dan pertumbuhan perdagangan internasional yang berimbang, mendorong kestabilan nilai tukar, membantu terciptanya system pembayaran internasional, mangusahakan tersedianya likuiditas sementara bagi yang  mengalami masalah neraca pembayaran Negara-negara anggotanya.
IMF, sejak berdirinya tanggal 27 Desember 1945, yang pendiriannya ditandatangani oleh 29 negara, hingga kini jumlah anggotanya sudah mencapai 183  negara merdeka. Akan tetapi, proses pengambilan keputusan di IMF dilakukan tak ubahnya seperti proses pengambilan keputusan dalam sebuah perusahaan. Sesuai dengan ketntuan yang berlaku, proses pengambilan keputusan di IMF dilakukan berdasarkan jumlah kepemilikan saham, yaitu dengan ketentuan 85% setuju. Padahal Negara-negara G-& saja yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Kanada, Jerman, Perancis dan Italia, sudah menguasai 45% suara. Dengan demikian, praktis negara-negara kaya ini mendominasi.
            Celakanya lagi, AS adalah pemegang saham utama dengan 18% suara. jadi Praktis tidak ada keputusan yang dapat diambil tanpa persetujuan AS. Dengan demikian, bagaimana mungkin IMF berkerja tidak untuk kepentingan negara-0negara G-7 itu? Demikianlah sebagaimana diminasi mereka di berbagai pertemuan lembaga keuangan  atau lembaga perdagangan internasional lainnya seperti WTO, Bank Dunia, CGI dan bahkan Paris Club.
  Ironisnya, yang berada dibalik negara-negara G-7 itu adalah perusahaan-perusahaan Transnasional Company (TNC). Delegasi negara-negara G-7 hampir selalu berangkat dengan membawa seabreg titipan dari TNC negara mereka masing-masing. Jadi, dapat dikatakan baha program IMF sesungguhnya tidak lebih dari agenda terselebung para TNC tersebut. Artinya target dan pelaksanaan program ekonomi IMF terhadap para ”pasiennya yang kekurangan gizi” (negara berkembang) menjadi mudah ditebak. Terlepaas dari keberhasilan atau kegagalannya dalam memulihkan perekonomian sebuah negara, pelaksanaan program ekonomi IMF dapat dipastikan akan berakibat pada menguatnya dominasi TNC terhadap perekonomian negara-negara yang menjadi pasiennya.
            Oleh karena itu, kepantingan G-7 dan para TNC tersebut dituangkan ke dalam program ekonomi IMF dalam berbagai penekanan, seperti pada:
1.      Pengetatan anggaran negara untuk menjamin kelancaran pembayaran hutang.
2.      Liberalisasi sektor keuangan untuk memberi keleluasaan kepada para pemodal internasional untuk datang dan pergi sesuka hati mereka.
3.      Liberalisasi sektor perdagangan untuk mempermudah penetrasi produk negara-negara industri maju.
4.      Privatisasi BUMN untuk memperlemah  intervensi negara dan memperkuat dominasi TNC di negara-negara yang bersangkutan dengan harga murah.
Jadi, kegagalan utama IMF yang sesungguhnya bukan terletak pada kinerja pemulihan ekonominya, melainkan pada jati dirinya sebagai agen kepentingan TNC.
Pelaksanaan progran ekonomi IMF yang idominasi oleh kepentingan negara G-7 menyebabkan pelembagaan suatu sistem kolonialisme baru,  dikorbankannya kepentingan rakyat untuk menyelamatkan para bankir, meningkatnya komersialisasi pelayanan publik, meluasnya pengangguran, merosotnya upah buruh, melebarnya kesenjaangan kaya miskin dan semakin kompleksnya krisis ekonomi (Al- Wa’ie, 2003:34-36).
Tatkala suatu misi IMF memasuki suatu negara, mereka tidak lain menjalankan rancangan untuk penghancuran lembaga-lembaga sosial-ekonomi di balik dalih persyaratan untuk meminjamkan uang. Menurut Joseph Stiglitz, mantan kepala tim ekonom Bank Dunia, IMF biasanya mengambangkan program 4 langkah (ZA. Maulani, 2003: 184-189):
1.      Program ”privatisasi”, yang menurut Stiglitz lebih tepat digunakan sebgai program penyuapan. Pada program ini, perusahaan-peruysahaan milik negara yang menjadi penerima bantuan IMF harus dijual kepada swasta dengan alasan untuk mendapatkan dana tunai segar.
2.      Program ”Liberalisasi Pasar Modal” , yang dalam teorinya, deregulasi pasar modal memungkinkan modal investasi mengalir keluar masuk. Namun, dengan ditingkatkannya pemasukan modal investasi dari luar, pada gilirannya akan menyebabkan pengurasan dana devisa negara yang bersangkutan untuk mendatangkan aset melalui impor dari negara-negara yang ditunjukkan oleh IMF.
3.      ”Pricing” atau penentuan harga sesuai dengan pasar, sebuah istilah yang muluk untuk menaikkan program menaikkan harga komoditas strategis seperti pangan, air  bersih dan BBM. Tahapan ini akan menuju tahapan ”kerusuhan IMF”, yaitu sebuah kekacauan di dalam negara penerima bantyuan IMF dalam skup multidimensi. banyaknya kerusuhan, aksi demonstrasi yang dibubarkan dengan gas air mata, peluru dan tank. Hal ini akan menyebabkan pelarian modal (capilat flight) dan kebangkrutan pemerintah setempat.
4.      ”Strategi Pengentasan Kemiskinan” yaitu ”Pasar Bebas”. Akibat program ini adalah penguasa kapitalis lokal terpaksa meminjam pada suku bunga dsampai 60% dari bank lokal, dan mereka harus bersaing dengan barang-barang impor dari  AS dan Eropa, di mana suku bunga berkisar tidaklebih antara 6-7%. Program ini mematikan kaum kapitalis lokal.

 Pemulihan Stabilitas Ekonomi Indonesia dengan Bantuan IMF
            Pada bulan Juli 1997, krisis ekonomi di Asia turut menghantam Indonesia yang pada waktu sebelumnya Dollar AS baru sekitar Rp. 2.400,00. Pemerintah Indonesia di bawah Presiden  Soeharto secara resmi memintan bantuan dan campur tangan IMF di dalam mengatasi krisis moneter dan ekonomi.IMF dipercaya sebagai “dewa penolong” yang dapat menciptakan stabilitas financial. Pada tanggal 31 Oktober 1997, IMF mengumumkan bantuan $40 milyar untuk perbaikan ekopnomi Indonesia, yang selanjutnya ditambah menjadi $45 milyar sebagai kompensasi atas reformasi ekonomi (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_3/artikel_4.htm)
            Ketika krisis menghantam Indonesia pada pertengahan 1997, dampak yang langsung terasa membebani Indonesia adalah terjadinya perubahan nilai tukar rupiah terhdap dolas AS secara tajam. Penurunan nilai tukar rupiah yang sangat drastis tersebut mengakibatkan cadangan devisa pemerintah Indonesia nyaris terkuras habis untuk menyelamatkan arus impor agar tetap relative terjaga. nyaris terkurasnya cadangan devisa Negara, memaksa pemerintah pada waktu itu untuk segera berpaling pada IMF agar segera menjadi penyelamat ekonomi Indonesia. Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa harapan terbesar pemerintah Indonesia untuk meminta berpaling ke IMF pada waktu itu adalah dalam rangka untuk mendapatkan kucuran dana segar (hutang) dari lembaga keuangan internasional tersebut.
            Oleh sebab itu, sejak ditandatanganinya Letter of Inten (LOI) pada tahuyn 1997 antara pemerintah Indonesia dengan IMF maka praktis  Indoneisa mulai saat itulah hutang luar negeri merupakan andalan utama pemerintah Indonesia untuk mengatasi krisis ekonomi yang tengah melanda negeri ini. Keaadan ini tidak mengubah keadaan perekonomian Indonesia dengan cepat. Bahkan, pada tanggal 22 januari 1998, rupiah menembus Rp. 17.000,- per dollar AS. IMF tidak menunjukan rencana bantuannya setelah mempelajari tanda-tanda  Presiden Soeharto akan menunjuk Menristek Habibie sebagai cawapres untuk mendampinginya. Dalam pergolakan ekonomi ini, mata uang rupiah jatuh merosot, dan diikuti segera oleh pasar modal.
            Krisis ekonomi yang bermula dari terjadinya gejolak nolai rupiah, akhirnya telah membuahkan dampak yang luas terhadap perekonomian nasional. Kegiatan ekonomi nasional sampai pertengahan tahun 1997 masih tumbuh secara mengesankan, mulai tahun 1998 telah mengalami significant deterioration. Laju inflasi meningkat sangat cepat seiring melemahkan nilai rupiah. Sementara itu, kebutuhan dana untuk berbagai kebutuhan usaha tidak terpenuhi sebagai akibat menurunnya kepercayaan masyarakat (domestik maupun internasional) terhadap perbankan dan prospek ekonomi Indonesia. Perkembangan ini telah mengakibatkan Indonesia mengalami krisis kembar, yaitu terjadinya krisis nilai ntukar dan krisis perbankan secara bersamaan.
            Krisis ekonomi yang melanda beberapa negara Asia yang paling berat merasakan dampaknya adalah negara-negra di kawasan Asia Tenggara. Ditinjau dari sisi dampak output, dari keseluruhan Negara-negara di kawasan Asia Tenggara tersebut, harus diakui bahwa Indonesia mengalami dampak ekonomi yang paling parah. Ekonomi Indonesia mengalami pelambatan secara tajam dalam tingkat pertumbuhan, dari sekitar 4, 91% pada tahun 1997 menjadi minus 13,68% pada tahun 1998 (Sumodiningrat 1998).
Pada pertengahan 1998, perekonomian Indonesia masih terpuruk. Diperkirakan 113 Juta orang penduduk Indonesia (56%dari jumlah penduduk) berada dibawah garis kemiskinan. Ada yang mengatakan bahwa 40 Juta orang penduduk Indonesia tidak mampu membeli makanan dan dalam kondisi rawan pangan (Ricklefs, 2001: 656-657)
            Sejak saat itu, sekalipun sering dikatakan bahwa konsep semua itu diusulkan pemerntah sendiri, keputusan akhirnya diambil oleh IMF. Dalam pelaksanaannya, IMF akan melakukan evaluasi, orang IMF juga akan masuk ke banyak departemen dan intitusi terkait. dari sini, kita dapat melihat bahwa IMF-lah yang mengendalikan sekaligus mendikte strategi dan kebijkan pemerintah. IMF telah menekan dan menuntut pemerintah Indonesia untuk mematuhi sayarat-syarat yang dibuat IMF dalam LOI atau Nota Kesanggupan. Buktinya, dana akan mengucur kalau sayarat-syarat LOI sudah terpenuhi.
            IMF sebagai pihak yang telah dipilih Indonesia sebagai “penyelamat” ekonomi Indonesia tentunya tidak akan hanya berdiri sebagain pihak yang hanya “mengguyurkan” uangnya ke Indonesia, tanpa konsekuensi apapun juga. Akan tetapi, IMF melalui LOI-nya telah mengharuskan Indonesia untuk mengikuti tahap-tahap pemulihan ekonomi sebagaimana yang telah digariskan dalam butir-butir yang telah dituangkan dalam perjanjian tersebut.
            Tatkala Direktur Eksekutif IMF, Camdesus datang ke Jakarta seraya menyodorkan LOI yang berisi reformasi ekonomi yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada tanggal 15 Januari 1997 maka dimulailah era perekonomian Indonesia yang diarsiteki oleh IMF. Isi butir ke 9 menuntut agar pemerintah menghapuskan subsidi yang sebelumnya digunakan untuk membantu masyarakat memembeli BBM dan mengurangi defisit anggaran belanja negara.
            Dari berbagai butir yang telah diajukan oleh IMF kepada pemerintah Indonesia, ada tiga jurus yang dikenal merupakan andalan IMF dalam menagtasi krisis ekonomi. Tiga jurus itu adalah: (1) Jurus liberalisasi perdagangan, (2) jurus privatisasi BUMN, (3) Jurus kebebasan investasi modal asing (Sunarsip, 2002).
       Jika dilihat sepintas, jurus pemulihan ekonomi yang ditawarkan IMF pada Indonesia nampaknya sangat bagus. Akan tetapi, jika ditelaah secara mendalam, banyak dijumpai berbagai kontradiksi antar beberapa jurus tersebut. Sunarsip telah memberikan beberapa analisisnya sebagai berikut:
            Sebagaimana diketahui, perhatian utama IMF pada negara-negara berkembang yang terkena dampak krisis adalah perbaikan neraca pembayaran, khususnya neraca berjalan. Dengan demikian, seharusnya IMF menyarankan negara-negara tersebut agar mendorong ekspornya dan menekan impornya. Namun ironisnya, pada saat yang bersamaan IMF justru menganjurkan agar negara yang berkembang meliberalisasi perdagangannya. Hal tersebut berarti, negara tersebut harus sangat terbuka terhadap arus impor. Konsekuensi logisnya adalah dengan masuknya arus impor tersebut berarti akan membahayakan transasksi berjalan negara tersebut.
            Sementara itu terhadap jurus 2 dan 3, kesimpulan penelitian empiris menunjukan bahwa derasnya aliran masuk investasi asing ternyata tidak mampu memecahkan masalah neraca pembayaran di berbagai negara berkembang. Justru biaya untuk melayani investasi asing jauh lebih tinggi dibanding dengan utang luar negeri. Posisi neraca berjalan tidak mengalami perbaikan, bahkan bertambah parah karena negara-negara tersebut sudah berada dalam victous circle of import. Semakin besar aliran unvestasi asing semakin tinggi intensitas import boom dalam negara-negara tersebut. Seiring dengan itu, aliran masuk investasi asing yang longgar juga akan semakin mendesak kekuatan ekonomi domestik ke pinggir sambil menunggu saat kematiannya.
            depresiasi rupiah terhadap dolar AS dipicu oleh berbagai faktor, baik faktor ekonomi maupun non ekonomi. Secara ekonomi, depresiasi rupiah ditimbulkan oleh terus naiknya defisit neraca trasnsaksi berjalan Indonesia dari 1,5% tahun 1993 menjadi 3,9% tahun 1997. Defisit transaksi berjalan mencerminkan ekspor lebih kecil daripada impor atau aliran pendapatan yang masuk lebih kecil daripada aliran pendapatan yang keluar. Dengan kata lain, kebutuhan dolar sebagai alat pembyaran luar negeri lebih besar daripada yang diterima.
            Selain itu, depresiasi nilai rupiah terhadap dolar juga diakibatkan oleh besarnya hutang luar negeri sektor swasta yang ditaksir sudah mencapai 65 Milyar dollar AS. besarnya hutang swasta tersebut menyebabkan kebutuhan terhadap dollar AS menjadi smekain meningkat dalam waktu yang bersamaan ketika hutang-hutang tersebut jatuh Tempo. Pada bulan Maret 1998, diperkirakan hutang sektor swasta yang jatuh tempo mencapai 9,1 Milyar dollar AS. Tingginya permintaan dollar dalam waktu yang bersamaan itulah yang memicu naiknya nilai penawaran dollar AS terhadap rupiah.
            Sedangkan faaktor non ekonomi yang turut berperan besar terhadap terjadinya depresiasi rupiah antara lain adalah akibat adanya spekulasi dalam transaksi perdagangan valuta asing (Valas). Para spekulan selalu memanbfaatkan saat-saat kritis ketika ada tanda-tanda peningkatan permintaan akan mata uang tertentu (Dolar AS) mengalami peningkatan maka para spekulan tersebut dapt melakukan aksi borong dolar terlebih dahulu sehingga tingkat penawaran mata uang tersebut mengalami penurunan. Turunnya tingkat penawaran mata uang tersebut ditambah dengan tingginya tingkat penawaran bersamaan jelas akan menyebabkan melambungnya nilai mata uang tersebut. Pada saat itulah, para spekulan mulai melepas sedikit-demi sedikit mata uang yang telah diboongnya demi meraup keuntungan yang besar dalam wktu yang relatif singkat.
            Suntikan dana dari IMF terus dilakukan untuk menyehatkan Indonesia, tetapi pemulihan ekonomi yang didambakan tidak kunjung tiba. Yang terjadi justru lilitan hutang yang semakin membengkak ditambah dengan krisis multidimensional yang dialami bangsa ini. Pada 1999, hampir semua negara-negara ASEAN berada pada tahap pemulihan (recover) ekonomi. Sedangkan Indonesia dengan IMFnya masih saja belum beranjak dari badai krisis. Indonesia masih tenggelam dalam krisis yang belum menampakan tanda-tanda pemulihan ekonomi yang signifikan.

C.   Bukti kegagalan IMF
            Kejatuhan rupiah sekitar 2.400 level terhadap Dollar AS, Juli 1997, mendorong Indonesia ke dalam krisis ekonomi terburuk sejak Soeharto mengambil alih kekuasaan pada pertengahan tahun 1960-an. Inflasi dan pengangguran melonjak, sebagain besar industri bangkrut secara teknis, perdagangan mengalami kemacetan. Kenaikan harga bahan bakar sebagai bagian dari perjanjian dengan IMF, jelas menyenbabkab terjadinya kesukaran di negara yang bergantung pada transportasi di antara 17.500 pulau yang terbentang sepanjang 5.000 kilometer (3000 mil) di khatulistiwa.
            Diukur dalam Dollar AS, pendapatan perkapita Indonesia turun setidaknya 60% dalam 6 bulan terakhir. Hal ini tercermin dari makin banyaknya orang yang tak mampu membeli bahan kebutuhan pokok semenjak harga melangit. harga smbako, termasuk di dalamnya minyak goreng, naik 20%. Penimbunan membuat beberapa barang menjadi langka, termasuk beras. Menghadapi gelombang panik pembelian besar-besaran, pemerintah terpaksa mengumumkan akan mengimpor setengah juta ton beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negari.
            Letter of Intent (LOI) yang berisi reformasi ekonomi yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada tanggal 15 Januari 1997, terbukti bukan kebijakan pemerintah yang berpihak pada rakyat. Isi butir ke-9 menuntut agar pemerintah menghapuskan subsidi yang sebelumnya digunakan untuk membantu masyarakatmembantu BBM dan mengurangi tarif dasar listrik. Akibatnya BBM dan TDL dinaikan. IMF berdalih untuk menguraangi defisit anggaran belanja negara (Al-Wa’ie, 2003: 9)
            Naiknya harga beras, minyak goreng dan kebutuhan dasar yang lain adalah sumbu terakhir. Ketika rupiah jatuh pada nilai 10.000 terhadap Dollar AS, IMF mengambil kesempatan untuk memaksa konsensus lebih lanjut pada pemerintahan Soeharto. Kehabisan akal memperbaiki stabilitas keuangan, Soeharto terpaksa menerima, bahkan syarat-syarat yang lebih keras. Nota kesepakatan yang baru, yang ditandatangani IMF dan Soeharto pada tanggal 15 Januari 1997, meningkatkan  konsensus dalam dua sektor. Pertama, rezim harus telah setuju mengakhiri subsidi listrik dan BBM. naiknya harga penyelenggaraan energi akan memimpin terjadinya inflasi dalam waktu panjang. harga bahan bakar rata-rata naik sebesar 47% dan listrik rata-rata naik sebsesar 60%. Badan pengawas kesepakatan mengestimasikan inflasi akan terjadi sekurangnya 20% per tahun untuk beberapa tahun mendatang, meski dalam prakteknya angka itu bisa jadi lebih. Secara tidak proporsional beban berat akan jatuh pada lapisan termiskin dari masyarakat. kenaikan harga bahan bakar terutama memukul 50 juta rakyat miskin di Jawa. Sejak pembabatan hutan-hutan di Pulau Jawa dan hilangnya kayu bakar, sebagian besar masyarakat bergantung pada minyak tanah untuk keperluan memasak makanan dan minuman.
            Senin 4 Mei 1997, terikat tekanan yang datang dari IMF, pemerintah Indonesia mengumumkan kenaikan tarif transportasi umum, hanya beberapa jam setelah sebelumnya mengumumkan kenaikan listrik dan BBM sesuai dengan rekomendasi IMF untuk mengurangi subsidi bagi kedua komoditas tersebut. Infklasi tahunan mulai mendekati 30%, dengan lonjakan harga bulan April 4,7% lebih tinggi dari bulan sebelumnya. beberapa bahan bakar mengalami lonjakan harga hingga 71%, berdampak pada keneikan tarif kereta api dan transportasi lau berkisar rata-rata 65,61%. Kenaikan tertinggi (100,72%) terjadi pada tarif kereta api kelas ekonomi, sementara tarif bis ekonomi antar kota mengalami kenaikan sebesar 50%. tarif bus reguler dan minibus, yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat sehari-hari, naik sebesar 66,67% setelah diramalkan 50% -- dari 300 rupiah menjadi 500 rupiah untuk bis dan 400 rupiah menjadi 600 rupiah  untuk minibus. tarif kereta api bertenaga diesel naik menjadi 72,96% sementara tarif kapal laut – yang sangat penting di negara yang terdiri dari ribuan pulau – naik 53,33%.
            Menteri Pertembangan dan Energi, Kontoro Mmangunsubroto mengetahui bahwa lonjakan harga merupakan pukulan bagi publik, tetapi ia mengatakan behwa keputusan tersebut adalah ”terbaik” dari daftar pilihan yang ”berat dan pahit”. . Kekerasan meletus segera diumumkannya kenaikan harga bahan bakar dan tarif angkutan umum.
            Sekali dimulai, secara cepat pergerakan memperoleh karakternya yang khas Indonesia. Di Ibukota Sumatera Utara, Medan, kekacauan pecah hanya beberapa jam setelah pemerintah mengumumkan kenaikan tajan atas bahan bakar dan tarif angkutan, sejalan dengan tuntutan reformasi yang diajukan IMF. Selama terjadinya amuk massa, tercatat 170 toko dihancurkan atau dijarah dan dibakar di Medan, sementara 38 mobil dan 21 sepeda motor juga dibakar. Demikianlah menurut laporan kepolisian Sumatera Utara. Reaksi rezim terhadap kekacauan-kekacauan tersebut adalah memadamkannya dengan kekerasan.
            Ketidakpedulian para penyusun strategi kapitalis itu, terlihat dari komentar yang dikeluarkan oleh Direktur pelaksana IMF, Michael Camdessus, yang berbicara di Melbourne, Australia, sesaat setelah kerusuhan terjadi. ia menyatakan ”keprihatinan mendalam” atas terjadinya kerusuhan tersebut, tetapi dengan kepuasan yang mengherankan  ia juga mengatakan bahwa sebab sebenarnya dari ketidakpuasan  rakyat adalah bukan kenaikan harga, melainkan problem menajemen ekonomi yang lebih mendalam yang telah menyebabkan terjadinya krisis sedari awal.
            Masih sama mengherankannya, ia menambahkan bahwa kenaikan harga bahan bakar sebanyak 71% yang menyebabkan terjadinya kerusuhan di Medan ”sangat diperlukan bagi masa depan ekonomi negara”, dan dia menegaskan bahwa Jakarta harus tetap melaksanakan program ekonomi ketat yang diajukan oleh IMF. Dia juga menyampaikan bahwa kenaikan harga bahan bakar adalah bagian dari persetujuan IMF dan Indonesia yang akan membawa perekonomian ke arah yang lebih berimbang. ”Meskipun prihatin atas terjadinya kerusuhan-kerusuhan ini, kita harus tetap mengingat bahwa bukan program kami yang menjadi penyebab sesungguhnya dari persoalan-persoalan ini,” kata camdessus (Sidney Morning Herald, 6/5/98) (http://www.marxist.com./indonesia/revolusi.html)
            Data empirik menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan (success rate) IMF di banyak negara kurang dari 30%. Itupun hanya negara-negara yang relatif kecil ataumasih pada tahap awal dari proses pembangunan ekonomi. Untuk negara-negara pengutang besar, nyaris tak terdengar cerita keberhasilan dari program IMF. Hasil penelitian Johnson dan Shaefer (1997), sejak tahun 1965-1995 menunjukkan bahwa perekonomian 48 negara dari 89 negara berkembang yang menerima bantuan IMF tidak menjadi lebih maju. bahkan 32 dari 48 negara  tersebut, justru menjadi lebih miskin. IMF malah menimbulkan krisis berkepanjangan, padahal negara-negara tersebut telah menjadi ”pasien” IMF selama puluhan tahun.
            Faktor kegagalan IMF di Indonesia sejak keterlibatannya pada Oktober 1997 antara lain:
1.      IMF selalu memaksakan pengetatan fiskal dan moneter jika suatu negara mengalami krisis ekonomi. Pengetatan fiskal tersebut dipaksakan pada negara berkembang agar ada surplus untuk membayar beban peningkatan utang. padahal, masing-masing negara memiliki struktur ekonomi  dan kompleksitas masalah yangberbeda. Akibatnya, kondisi ekonomi yang sudah memburuk, malah makin menjadi buruk akibat pengetatan fiskal dan moneter yang dianjurkan IMF, terutama pada awal krisis.
2.      Pendekatan dengan penambahan beban utang untuk mendukung posisi neraca pembayaran, hanyalah perbaikan yang bersifat semu, tidak riil, karena abukan hasil peningkatan ekspor netto, karena terus menerus melakukan pinjaman untuk meningkatkan neraca pembayaran.
3.      Prasyatar dan rekomendasi kebijakan IMF dalam berbagai Letter of Intent, lebih banyak mencakup bdang di luar makro ekonomi dan moneter seperti perbankan, pertanian, coorporate restructuring dan industri. Rekomencadi IMF untuk menutup 16 bank pada November 1997 telah menimbulkan destabilitas finansial dan punahnya kepercayaan masyarakat. Akibatnya ekonomi Indonesia mengalami hard landing, kebangkrutan massal dan jutan orang di PHK.
(Al-Wa’ie, 2003: 32-34)
            menurut akademisi dan politisi AS, diantaranya adalah Prof. Alan melteer dari universitas Carnegie Mellon, Prof. jhon B. taylor dari Universitas Stanford, Prof.  Kruggman dari IMT, Prof. Jeffrey Sachs dari Colombia University, kegagalan IMF terletak pada metodologi dan cara penanganan. Jerome Sgard, ekonom Perancis, menuduh kebijakan IMF – yang memaksa negara berkembang meliberalisasikan pasar dan mebuka sektor keuangan – justru membuat negara-negara itu semakin rapuh terhadap volatilitas ekonomi dunia.
            Prof. Joseph Stiglitz, profesor ekonomi di Columbia University, AS, yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Penasihat Ekonomi pemerintahan Bill Clinton (1993-1997) dan eknom utama di bank Dunia (1997-2000), dalam bukunya, Globalization and It’s Discontens, menyatakan bahwa IMF dan lembaga donor internasional lainnya lebih mengutamakan kepentingan orang-orang yang bercokol di Wall Street dan Washington, daripada kepentingan negara-negara miskin yang dibantunya. Dia juga menuduh IMF tetap menggunakan pendekatan teori ekonomi  yang sudah usang. majalah Forbes di AS, pernah mengulas bahwa resep IMF di Meksiko, Argentina, Thailand dan Indonesia justru memperburuk krisis ekonomi. Kongres AS yang dipimpin oleh Prof. Alam Meltzer dari Universitas Carnegie Mwllon, telah mengevaluasi kinerja IMF dan berkesimpulan agar IMF direnovasi. bahkan Prof. Jhon B. taylor , dalam salah satu bukunya mengusulkan agar IMF dibubarkan saja (Al-Wa’ie, 2003: 36).
            Sebagain besar publik, terutama pemerontahan negara-negara di Dunia Ketiga masih memandang IMF sebagai lembaga dengan wajah yang manusiawi, seperti yang dinyatakan di dalam charternya”turut serta dalam upaya mengentaskan kemiskinan”. Dalam akenyataannya, IMF lebih sukses berperan dalam menciptakan kemiskinan negara-negara yang sedang berkembang, daripada mengatasi kemiskinan yang mereka derita (ZA. maulani, 2003: 190).
            Salah satu program yang dipaksakan IMF kepada iNdonesia aalah privatisasi. Kalau diamati secara seksama, sistem ini menetapkan peran negara di bidang ekonomi hanya terbatas pada pengawasan pelaku ekonomi dan penegakan hukum. Privatisasi menetapkan bahwa jika sektor publik dibebaskan dalam melakukan usaha, invesatsai dan inovasi, maka pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat meningkat.  namun, pada kenyataannya privasieasi merupakan cara IMF untuk merampok negara berkembang yang kaya. Untuk membayar utang kepadaIMF, maka cara yang paling gampang adalah menjual aset-aset negara melalui privatisasi.  Cara lainnya adalah dengan mengurangi bahkan mencabut sama sakali subsidi baik pada BBM< listrik, pendidikan, sampai kesehatan.
            Alasan yang banyak digunakan pemerintah sebagai justifikasi dijualnya BUMN tersebut adalah karena tidak efesien dan abnayaknya kebocoran-kebocoran dalam BUMN tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah menjual aset-aset negara tersebut merupakan satu-satunya jalan utnuk memperbaikinya? hal itu saja seeprti rumah yang rusak, catnya sudah pudar dan lantainya sudah pada bolong, diobati dengan menjual rumah tersebut? Selain itu, privatisasi tidak menjamin hilanya penyait tersebut. Alasan yang sebenarnya adalah untuk membayar utang yang semakin membebani APBN akibat utang kepada IMF, mengingat volume utang luar negeri Indonesia yang berjumlah sekitar US$ 150 Miliar.
            Privatisasi yang dilakukan pemerintah akan menimbulkan beberap dampak negatif sebagai berikut.
1.      Aset-aset penting suatu negara akan terkonsentrasi pada segelintir individu atau perusahaan yang memilki modal besar serta kecanggihan manajemen, teknologi, dan strategi.
2.      Pemerintah menjadi lemah. Sebaliknya posisi swasta menjadi kuat. Hal ini memungkinkan puhak swasta mampu memengaruhi kebujakan pemerintah.
3.      Negara-negara berkembang akan menjadi terbuka bagi masuknya investor asing, baik perorangan maupun perusahaan. Kondisi ini pada gilirannya akan mengakibatkan kebergantungan pada puhak asing.
4.      Pengalihan kepemilikan khususnya di sektor pertanian dan industri. Investor dalam sistem kapitasli cenderung beranggapan bahwa efesiensi akan mudah dicapai dengan teknologi padat modal an bukan teknologi padat karya.
5.      Negara tidak sanggup lagi melaksanakan banyak tanggungjawab yang dipikulnya karena negara telah kehilangan sumber-sumber pendapatanya.
            Dari fakta-fakta yang tersaji, ketika kita tetap mempertahankan hubungan dengan IMF, sungguh akan membawa dampak dan resiako untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. indonesia akan tetap menjadi negara boneka dan akan dibuat semakin bergantung ters menerus dalam menentukan hidupnya sendiri. Jika hal ini dibiarkan semakin larut, kemusdian Indonesia akan mati perlahan-lahan.
            Meskipun banyak fakta-fakta yang menunjukan kegagalan IMF di Indonesia, ada juga pakar yang berpendapat bahwa keberadaan IMF di Indonesia tidak sepenuhnya buruk. Cyrillus Harinowo, salah seorang kandidat dalam pemilihan Gubernur Bank Indonesia (BI) 2003 lalu yang lekat dengan pengelolaan aspek moneter selama krisis, tidak setuju. Buku terbarunya, IMF: Penanganan Krisis dan Indonesia pasca-IMF (IMF-PKIP), menolak analisis dangkal, hitam-putih, tentang peran ekonomi IMF yang kerap dimunculkan politisi maupun media massa. Cyrillus memang dekat dengan penanganan krisis IMF di Indonesia. Antara tahun 1998-2000, ketika Indonesia di dasar jurang krisis, ia ditunjuk menjadi direktur eksekutif pengganti (alternate executive director) mewakili kawasan Asia Tenggara dalam Dewan Direksi IMF. Sebelumnya pun ia telah lebih dari dua puluh tahun berkiprah di pemerintahan, baik di BI maupun Departemen Perdagangan.
Cyrillus Harinowo menolak anggapan bahwa peran IMF sepenuhnya buruk. Walaupun tidak mengecilkan ’kesalahan fatal’ IMF menutup 16 bank, tindakannya kemudian yang all-out membantu upaya keluar krisis, mencegah kehancuran total sistem keuangan Indonesia, serta mengembalikan stabilitas ekonomi. Setidaknya, dalam dua hal, peran penting IMF menyelamatkan perekonomian tidak muncul di media massa. Pertama, dalam Program Penjaminan Simpanan, salah satu upaya yang berhasil mencegah total meltdown sistem perbankan. Peran bantuan teknis IMF besar dalam desain maupun promosi program yang diistilahkan Cyrillus sebagai ’mukjizat’ yang berhasil membalikkan derasnya arus uang keluar dari sistem perbankan. Peran kedua adalah dalam menjamin kredit swasta.

Analisis Teori Dependensi dalam Hubungan IMF dan Indonesia
Teori dependensi pada umumnya memberikan gambaran mengenai analisa diakletis bahwa pada dasarnya ketergantungan yang terjadi antara suatu subsistem dengan subsistem lain yang dominan merupakan salah satu penentu dalam perkembnagan atau perubahan sosisal yang terjadi dalam suatu masyarakat. dalam t5eori ini, yang menjadi titik tolak ialah penyesuaian ekonomi terbelakang pada sistem-sistem dunia sedemikian rupa sehingga menyebabkan terjadinya penyerahan sumber-sumber penghasilan daerah-daerah pinggiran ke pusat atau mengakibatkan timbulnya berbagai macam hambatan mekanik yang menyebabkan perekonomian di  daerah-daerah pinggiran itu tetap terbelakang atau berubah bentuknya (Sujogyo, 1985:133).
Secara umum, pandangan teori dependensi antara lain: berlaku bagi seluruh negara dunia ketiga; mengalirnya surplus ekonomi dari negara dunia ketiga ke negara maju; polarisasi regional ekonomi global san suatu hal yang mutlak bertolak belakang dnega pembnagunan (Blomstrom dan Hettne dalam Suwarsono dan Alvin, 2000: 103-104). Berdasarkan pandangan umum tersebut maka tidak heran jika hubungan Indonesia dan IMF bisa dilihat dari teori ini. 
Dalam menganalisis hubungan Indonesia-IMF dengan teori dependensi, dependensi yang terjadi di Indonesia adalah dependensi finansial-industri. Merujuk kepada pendapat Dos Santos, dependensi finansial-industri merupakan penguasaan negara pinggiran oleh negara pusat dalam hal penguasaan kekuatan-kekuatan finasial dan industri. Hal ini menjadikan ekonomi negara pinggiran merupakan satelit negara pusat (Arief Budiman, 1995: 69).
Negara-negara yang berada dibalik IMF adalah negara-negara pemiliki modal yang menjadikan negara-negara dunia ketiga sebagai enagara satelitnya. Memang secara fisik, Indonesia tidak mengalami penjajah dari negara-negara dibalik IMF, tetapi secara politik dan ekonomi Indonesia mengalaminya.
Kondisi Indonesia pada tahun 1997-1999, dapat memberi kita gambaran bahwa Indonesia banyak menerima kebijakan negara luar. Hal nini dapat dilihat dari adanya nota  kesepakatan yang ditandatangani antara Presiden RI saat itu dengan IMF.  Indonesia harus mengikuti semua pendapat IMF kalau Indonesia mau menerima “bantuan” dari IMF.
Sebenarnya Indonesia mampu untuk melepaskan diri dari jeratan IMF karena dengan pinjama IMF terbukti Indonesia tidak menjadi semakin baik malah menajdi semakin ketergantungan. Indonesia harus banyak menggali potensi negara sendiri agar terbebas dari jeratan IMF.
Menurut Peter F. Drucker, profesor Ilmu manajemen pada Universitas New York pernah menilai bahwa negera berkembang kurang maju dibandingkan dengan negara maju bukan karena negara itu terbelakang, tetapi karena negara itu kurang terkelola (under managed). Meskipun banyak modal yang dimiliki, pembangunan tidak akan terlaksana kecuali jika disertai dengan sumberdaya manajerial yang mampu mengelolanya (dalam Emil Salim, 1980: 223). Untuk itulah kita haru menganut model pembanguan yang berprinsip berdikari (a self reliance model), agar kita tidak lagi ketergantungan dengan negara-negara maju (Judistira, 1999:13).
Dengan melihat fakta kegagalan IMF dalam membangun kehidupan ekonomi Indonesia seharunya Indonesia dengan tegas menolak pinjaman dari IMF karena  dengan semakin terkaitnya Indonesia kepada IMF maka hal tersebut akan memperburuk situasi ketergantungan amlah Indonesia akan semakin berkembang. Pada kenyataannya, menurut teori dependensi, negara pinggiran telah menerima banyak kerugian akibat katergantungan kepada negara-negara maju. Sebetulnya, kesadaran akan bahaya kapitalisme dengan sosok seperti skerang ini sudah mulai tumbuh. Di antaranya justru datang dari kalangan pemikir barat itu snediri, termasuk para pemikir di lembaga-lembaga keungan internasional seperti IMF dan Bnak Dunia. Namun, kesdaran semacam itu masih belum muncul di negara seperti Indonesia.
            Pada dasarnya Indonesia sama sekali tidak memerlukan pinjama IMF. Sebab, pinjaman IMF hanyalah bersifat cadangan kedua (second line of defense). Artinya pinjaman IMF hanya untuk tambahan devisa dan baru dapat digunakan jika Indonesia telah menghabiskan seluruh cadangan devisa ayang ada.  Sejak awal memang dirancang bahwa kredir dari IMF dimaksudkan untuk pertahanan kedua. Indonesia menganut system nilai tukar mengambang. dalam system ini, tidak diperlukan cadangan devisa terlalu besar karena nilai tukar akan menyesuaikan diri sesuai dengan kondisi neraca pembayaran. sangat berbeda jika Indonesia menggunakan system nilai tukar yang dipatok, sehingga harus memiliki cadangan devisa yang besr untuk mengantisifasi terjadinya lonjakan permintaan devisa.

Kesimpulan
Bantuan yang diberikan negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang, baik bantuan langsung secara bilateral ataupun bantuan melalui IMF dan WB, sebenarnya tidak lepas dari bentuk penjajahan ekonomi negara-negara maju terhadap negara berkembang. Beberapa negara yang mampu bertahan dari gelombang krismon tahun 1997 seperti Hongkong, RRC, Singapore, dan Taiwan, terkesan “kurang disukai” IMF. Malaysia yang terang-terangan menolak bantuan IMF terkesan “sangat tidak disukai” IMF.
Sedangkan negara-negara lain yang telah / hampir berhasil melepaskan diri dari krisis moneter tahun 1997 seperti Korea Selatan dan Thailand, sangat jelas keberhasilan tersebut berkat usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan rakyat negara yang bersangkutan. Dari beberapa sumber dapat diketahui, bahwa negosiasi IMF dengan kedua negara tersebut cukup alot karena banyak program yang diajukan IMF ditolak.
Di Indonesia, kita begitu patuh terhadap IMF, hampir semua program yang diajukan selalu diterima oleh pemerintah kita dalam masa pemerintahan Habibie. Perdebatan yang terjadi kurang seimbang dan terkesan hanya sekedar tidak menerima begitu saja. Likuidasi 16 bank pada bulan November 1998, program BLBI, perubahan UU BI, dll nyatanya bukan memperbaiki situasi moneter di Indonesia, malah menjerumuskan kita ke dasar sumur.
Indonesia sebagai engara berkembang yang berposisi sebagai Negara pinggiran dalam tata ekonomi dunia kapitalis, menghadapi permasalahan yang spesifik sehingga secara politik ekonomi tergantung kepada dunia luar. Negara maju dengan bebas mempecundangi Dunia Ketiga melalui efek globalisasi yang memang sengaja dilakukan melalui rekayasa ekonomi internasional. lembaga-lembaga internasional semacam IMF, Bank Dunia ataupun WTO adalah sedikit dari sekian banyak lembaga yang harus bertanggung jawab atas berlangsungnya kemiskinan yang dialami Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Pemerasan dan ekploitasi yangt berlangsung secara menahun juga memberikan dampak terhadap lingkungan dan ekologi Dunia Ketiga yang rusak akibat terus menerus dieksploitasi Negara-negara maju.
Tujuan awal didirikannya IMF adalah untuk mempersiapkan badan ini menjadi penolong bagi Negara-negara tertinggal, padahal ini adalah salah satu upaya Negara-negara kapitalis untuk menguasai Negara berkembang, yaitu melalui pemberian utang. IMF tidak mendidik Negara berkembang untuk maju. IMF bukanlah dewa penolong untuk Negara-negara berkembang. IMF adalah racun.
Sebetulnya, kesadaran akan bahaya kapitalisme dengan sosok seperti sekarang ini sudah mulai tumbuh. Diantaranya justru datang dari para pemikir  Barat sendiri, termasuk para pemikir di lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. JUstru keadaan seperti inilah yang saat ini kurang muncul di Negara kita, dan Negara berkembang pada umumnya, sehingga secara sukarela Indonesia mau menerjunkan diri ke dalam ajang permainan yang berbahaya ini.
Bukti yang nyata yang ada di hadapan kita adalah IMF membuat Indonesia semakin ketergantungan. Indonesia harus dapat melepaskan diri darri jeratan IMF. IMF bukanlah solusi pembangunan. IMF membuat Indonesia semakin manja dan ketergantungan. Indonesia harus bangkit dengan a self reliance model untuk mengejar ketertinggalannya. Bukan dengan bantuan IMF.

DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia ketigaJakarta: Gramedia
Garna, Judistira K. 1999. Teori Sosial dan Pembangunan Indonesia. Bandung: Primaco Akademika.
Koentjaraningrat. 2002. Kebudayaan, mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Maulana, ZA. 2003. Zionisme: gerakan Menaklukan Dunia. Jakarta: Pustaka Amanah.
Ricklefs. MC. 2005. Sejarah Indonesia ModernJakarta: Serambi
Sajogyo, Pudjiwati. 1985. Sosiologi PembangunanJakarta: IKIF Jakarta
Salim, Emil. 1980. Lingkungan Hidup dan PembangunanJakarta: Mutiara
Suwarsono dan Alvin Y. 2000. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: LPES