Kamis, 22 Desember 2011

SASTRA DAN PEMBELAJARAN SEJARAH Prof.(Em).Dr.RochiatiWiriaatmadja,M.A.



Pendahuluan
            Dalam struktur ilmu,sejarah dahulunya termasuk kelompok sastra karena memang sejak dahulu sejarah dituliskan dalam ungkapan yang tergolong sastra. Sebagai contoh, Jurusan Sejarah di Unpad termasuk fakultas sastra, disebut sebagai sejarah filologi,yakni mengkaji dokumen-dokumen sejarah lamamaupun baru. Pada zaman Yunan kuno,kisah tentang Perang Troya atau perjalanan pulang Odyseus lebih merupkan dongeng atau mitos yang tergolong sastra daripada penulisan sejarah.
            Dalam sejarah Indonesia, Ngerakertagamai atau syair kepalawanan I La Galigo, pararaton,atau hikayat raja-raja pasai ditulis dalam bentuk dongeng, mengandung perbuatan-perbuatan yang menuurt ukuran sekarang tidak masuk akal (luar biasa), dan mengikuti tradisi pola kesusastraan (Frederick dan Soeroto, 1982). Maka, para sejarawan llama berpendirian, bahwa untuk menghasilkan pertambahan kumulatif pengetahuan (sejarah), tidakperlu mengandalkan terus-menerus retorika yang oleh sarjana ilmupengetahuan alam dianggap tidakdapt diingkari dalammerumuskan dan menyamnpakan apa yang diketahuinya.
Secara positif,halite mengandung arti bahwa untuk menyampaikan apayang diktehuioleh para sejarawan,suatu retorika yang lebuh mneyerupai apayang digunakan dalamkesusteraan, daripada yang digunkan oleh ilmupengatahuan alam tidak saja diperbolehkan, tetapi sewaktu-waktu perlu diterapkan (Abdullah dan Surjomohardjo, 1953: 253).  Fakta-fakata di atas menunjukan bahwa penulisan sejarah dimasalalu lebih mementingkan dara pengungkapan yang harus mematuhi kaidah-kaidah sastra, daripad deskripsi peristiwa sejarahnya,apalagi anlisi ataukausalitasnya.

Pengaruh Aliran Positivisme
            Perubahan terjadipada masa enightennment atau Aufklarung atau zaman pencerahan.sebagai dampak dari revolusi Galilei,dillanjutkan oleh berkembnagnya rasionalisme Descartes dan aliran positivism comte, maka metode ilmiah yang dianggap sahih mengandung kebenaran universal, diakui sebagai metode ilmiah yang sesuai untukilmu-imu kealaman (astronomi, fisika, kimia,matematika). Terpengaruh oleh keberhasilan metode imiah ini,maka disipin ilmu-ilmu sosiaseperti sosiologi dan antropologi mengikuti jejaknya.
            Sejarahyang tadinya term,asuk sastra, jadimemakai m4tode heurmeneutika ataukajian dokumen /filologi,kemudian juga mengembangkan metode historis,diawali dnegan konsep Ranke: “Wie es eigentlich gewesen”, yang mengikuti kaidah-kaidah metode berpikir deduktif. Maka terjadi pergeseran,sejaruah masuk kedalamilmu-ilmu soisal. Dnegan peralihan ini,sejarah dan penelaitiannya, serta penulisan hasilpenelaitiannya harus mengikuti kaidah-kaidah pnelaitian dmeikian yang menggunkaan metode ilmiah dnegan memakai proposisi-proposisi seperti premis, asumsi dasar, hipoteis,pembuktian dengand ata empiric,penulisan hasipnelitian secara lugas dan krdibel. Validasi dan verifikasi penelitian diperlukan.analisis data kecuai memakai kaidah kausalitas,digunakan  juga bentuk analisis seperti mengukur pengaruh,klasifikasi,komparasi, dan teknik-teknik analisis data lainn7a dalampnelaitian positivistik.

Struktur Keilmuan
Naturwissenscahften                                                                       Geistewissenschaften
(Natural Philosophy)                                                                      (Moral philosophy)



Ilmu Kealaman                                                         Ilmu Sosial                            Humaniora 
(Natrual Sciensce)                                                  
Physical Scince        Biological science
Astronomi                 Botani                                     Antropologi                          Filsafat
Fisika                         zoology                                  sejarah                                                Agama
Kimia                         Biofisika                                hokum                                               bahasa
Matematika               Biokimia                                ekonomi                                sastra(Sejarah)
                                    Mikrobiologi                                    Sosiologi                                Seni
                                                                                    Geografi
                                                                                    Politik
                                                                                    Psikologi Sosial
(Suriasumantri, 1983, Dnegan modifikasi)
Sejarah Sebagai Pendidikan Nilai
            Sebagai disiplin ilmu yang sarat degan nilai, yang hanya dipahami dengan melalui versteheni (Max Weber) ditambah dnegan peran utama sejarah yaitu edukatif (Marwick,1976), maka deskripsi peristiwa sejarah yang disajikan dalambentuk laporan penelaitian yang lugas,kredibel, objektif, deperti halnya penelaitian fisika,matematika, dirasakan ada yang hilang dibaandingkan dnegan carapenulisan yang lama. Apakah itu “the sensesof drama,the flight imagination,or tehe chance speculation?. Cobalah anda rasakan dan simak!. History,kata Marwick (1976: 58), should not only remove prejudice, it should provide the ideals which inspire the life of the ordinary citizen.Aknowedge of history enhances the understanding of literature, and doubles the pleasure of travel”.
            Diluar negeri, seeprti di AS,perkuliahan yang berjudul Sejarah dan Sastra (History and Literature) sudah lama dikembnagkan. Kuliah tersebut dikelola di Departemen Sejarah atau Depatemen Sastra.Para pengembangnya adalah dosen yang betul-betul berkualifikasi S3 dengan spesialisasi Sejarah dan Sastra, bahkan sudah guru besar dan emeritus.
            Cobalah anda perhatikan deskripsi Sejarah dan Sastra yang dikembangkan di jenjang S1 dengahn kelas yang dibatasi untuk 15 orang mahasiswa saja: “Kuliah ini yang disajikan dalam bentuk seminar akan menjajagi Progress/kemajuan/perkembangan yang disertai oleh permasalahan dan paradox dalam Sejarah dan Sastra Eropa sejak Zaman Pencerahan/Aufklarung. Pendekatannya komparatif, dengan konsentrasi bahan dari inggris, Perancis dan Jerman dalam bentuk novel, puisi dan drama dari para penulis/pengarang seperti Tennyson, Victor Hugo, charles Dickens, Thomas Mann dan Albert Camus; serta diperdalam dengan karya-karya  di bidang politik, social, budaya dan filsafah seperti karya Immanuel kant, Condorcet, August Comte, fourier, freud dan para sosiolog dari mazhab Sekolah Frankfurt”.
            Cobalah Anda bandingkan dengan mata kuliah Sejarah dan Sastra yang diberikan di program Pascasarjana, dengan topic : “Perbudakan dan Pembebasannya di Dunia Atlantik Modern” : “Di kalangan generasi mutakhir para pakar telah melakukan pemahaman yang revolusioner mengenai perbudakan dan pembebasannya. Perubahan ini terjadi karena pergeseran besar dalam bidang metodologi, yakni melihat sejarah kaum budak dari kacamata mereka sendiri dan bukan dari sudut pandang para pemiliknya (Emic). Kuliah ini akan mengkaji sejarah “Atlantik Hitam” melalui rentangan beragam karya budaya, seperti puisi, pamphlet, perkara di pengadilan, petisi, otobiografi, novel, pidato, khotbah di gereja, yang disampaikan oleh para budak-budak yang dimerdekakan, kaum abolisionis, dari zaman revolusi sampai emansipasi (keluarnya UU Hak Sipil tahun 1961).
            (http://webdocs.registrar.fas.harvard/courses/Historyandliterature.html). Latihan : Cobalah Anda sendiri menyusun deskripsi perkuliahan Sejarah dan Sastra untuk keperluan kita sendiri!
Contoh Penggunaan Sastra dalam Sejarah
            Berikut ini contoh bagaimana menggunakan karya sastra di dalam memberikan pengayaan, penghalusan, pendalaman pengalaman terhadap peristiwa sejarah: Peristiwa sejarahnya adalah suatu episode dalam sejarah perang kemerdekaan Indonesia (1945-1950), tepatnya segera setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, disusul oleh kedatangan Sekutu yang di belakangnya menumpang dating Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Terjadi konflik terbuka antara NICA/tentara Belanda dengan pihak Indonesia (BKR, barisan perjuangan, pemuda, waktu itu belum ada TNI). Betapa sengitnya pertempuran dan berate jumlah korban yang jatuh, dalam kondisi yang bagaimana, hal-hal itulah yang dapat diperjelas dan dirasakan suasana batin semangat perjuangan untuk berkorban, bahkan untuk berkorban jiwa, dapat dirasakan dalam kumpulan sajak-sajak Chairil Anwar (1993, Ed. Cet. III) yang berjudul “Deru Campur Debu”.
            Perhatikan dan baca misalnya sajak pertama yang berjudul “Aku”. Cobalah Anda simak! Bukankah Anda merasakan jiwanya yang memberontak? Bahwa “aku” adalah binatang jalang? Apa kiranya maksud penulis? Bahwa “aku” di sini sedang berjuang, Di medan pertempuran tampak dalam kalimat: “Biar peluru menembus kulitku” dan “Luka dan bisa kubawa berlari”. Cobalah Anda ungkapkan dengan kalimat sendiri! Dapatkah Anda merasakan jiwa dan semangat perjuangan dalam sajak ini?
            Dengan cara yang sama, cobalah And abaca sajak yang berjudul “Selamat Tinggal” dan “Catetan Tahun 1946”. Kemudian Anda cari juga sajaknya yang berjudul “Antara Karawang dan Bekasi” ! Dapatkah Anda merasakan nafas perjuangan dan pengorbanan para pejuang kemerdekaan?
            Demikianlah, sajak-sajak Chairil Anwar mampu melukiskan gejolak jiwa pejuang serta suasana dan jiwa perjuangan kemerdekaan waktu itu, yang Anda semua sudah luput dari jiwa zaman/Zeitgeist tersebut, karena Anda dilahirkan pada masa sesudahnya.
            Berikut adalah contoh dari Sejarah Eropa, bagaimana novel dapat memberikan visualisasi tentang kehidupan abad pertengahan dan menghidupkan kembali suasana gereja dan biara dalam pergolakan yang akan mengakhiri zaman gelap ini dengan gambaran Zeitgeist yang tepat dan akurat.
            Novel yang berjudul “The Name of The Rose” (2008) yang ditulis oleh Umberto Eco ini menceritakan memoir dari perjalanan seorang biarawan fransiskan muda yang mendampingi gurunya seorang rahib inggirs dalam tradisi intelektual Oxford, ke sebuah biara Benediktin Melk, di Perugia, untuk menyelidiki perkara pembunuhan. Kisah yang kompleks ini penuh dengan informasi mengenai kehidupan biara/gereja Abad Pertengahan (di dalam buku melukiskan kehidupan abad ke 14) di Eropa, yang disajikan dengan cerdas dalam suasana aliran pemikiran yang mencerminkan pola piker spekulatif dari Universita Paris dan pola empiric dari Universitas Oxford. Digunakannya banyak rujukan dari beragam sumber, mulai dari kitab suci Injil, pikiran para teolog, filsafah yunani (Eco, 2008 : xv), dan disebut dengan istilah intertekstual, adalah dampak dari aliran sastra postmodern.
            Aspek lain yang menarik adalah caranya Eco memperkenalkan logika berpikir abduksi, yang terdiri dari aturan umum dan akibat untuk kemudian menarik kasus dan menghasilkan probabilitas, di samping logika berpikir deduksi yang terdiri dari aturan umum dan kasus kemudian menarik kesimpulan secara deduktif dan menghasilkan validitas logis, dan logika induksi yang terdiri dari kasus dan akibat dengan kesimpulan aturan umum serta menghasilkan probabilitas (Eco, 2008 : xviii).
            Untuk memahami deskripsi yang panjang, mendetail, kompleks yang untuk pemahaman orang awam sulit untuk dimengerti, Eco menggunakan semiotika  sebagai alat penafsiran. Semiotika adalah metode penafsiran yang bisa memberikan penafsiran yang bisa memberikan penjelasan, sekaligus menjernihkan, memurnikan persepsi, yang selama ini dianggap sebagai normal, logis, natural, atau dalam kata lain membongkar stereotype. Dengan menggunakan metode semiotic, dibuka kemungkinan untuk memahami berbagai bentuk ekspresi budaya atas namanya sendiri, tidak dipengaruhi oleh pendapat umum yang sudah didominasi oleh ideology-ideologi yang dominant (Sunardi, 2004 : xvi).
            Salah satu aspekhistoris dalam novel ini adalah ditampilkannya bukti silang budaya antara Islam dan Kristiani yang mengembalikan karya-karya klasik Yunani melalui kajian para ffilsuf dan pakar Arab kembali ke tangan para filsuf dan pakar Barat dengan menterjemahkannya dari bahasa Arab ke bahasa latin. Hal tersebut dideskripsikan melalui bahasan tentang perpustakaan biara di Melk yang luas dan kompleks, - dan karenanya disebut labirin - , yang kaya dengan dokumen-dokumen kuno, antara lain karya dari Averroes (Ibn Rushd) seperti misalnya tentang Ethics, Poetics dan Rhetoric dari Aristoteles (Eco, 2008 : 542-dsl.), dan karya-karya para sarjana Arab lainnya.

Masalah Analisis
            Mata kuliah yang menggabungkan sua disiplin ilmu ini dalam analisisnya memakai pendekatan multidisiplin, karena baik Sejarah sebagian daari sekelompok ilmu social maupun sastra yang merupakan bagian dari kelompok Humaniora, masing-masing dalam analisisnya menggunakan pendekatan multi disiplin.
            Anda sebagai Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah semester IV atau VI, tentu sudah biasa dan akrab dengan analisis Sejarah, maka dalam bahasan ini analisis sastra lah yang akan dibahas terlebih dahulu.

Analisis Sastra
            Analisis sastra biasanya terdapat dalam atau tergabung dalam kritik sastra. Apabila dijabarkan, maka kritik sastra adalah kajian, diskusi tentang, evaluasi terhadap, atau penafsiran tentang sastra. Kritik sastra modern seringkali menggunakan teori-teori sastra, yang merupakan diskusi filosofis mengenai metode dan tujuan. Hal ini disebabkan karena banyak kritikus sastra beranggapan, bahwa dalam kritik sastra bisa sekalian diaplikasikan teori-teori sastra, karena kritik sastra selalu berhubungan dengan karya sastra, paling tidak dilihat dari sudut pandang teori.
            Kritik sastra modern seringkali diterbitkan dalam bnentuk essay atau buku, karena pada umumnya ditulis oleh para akademisi yang biasa mengajar atau meneliti yang hasilnya dilaporkan di dalam jurnal penelitian yang selanjutnya diterbitkan sebagai sebuah buku.
            Di Barat, yang biasa mencatatkan sebagai peristiwa sejarah, kritik sastra pertama kali dilakukan oleh Aristoteles (Abad ke 4 M) terhadap karya Plato (gurunya sendiri) yang berjudul Poetics. Di zaman Abad Pertengahan kritik dilakukan terhadap teks yang isinya bahasan tentang agama. Tradisi kritik berupa diskusi panjang hermeneutika terhadap teks-teks agama berpengaruh kemudian terhadap kritik terhadap teks-teks yang sifatnya sekular. Hal ini terutama berlaku dalam tradisi agama-agama ibrahimiah seperti  Yahudi, Kristiani dan Islam.
            Di zaman Renaissance, kritik sastra berkembang ke arah bentuk neoklasik dengan mengedepankan peran sastra sebagai pusat dari kegiatan kebudayaan, dan penulis puisi atau prosa diabadikan dengan tradisi penghormatan yang panjang. Pada abad ke 19, ada gerakan romantik di Inggris yang memperkenalkan gagasan estetika baru, yng mencakup pendapat bahwa objek sastra tidak selamanya harus cantik, mulia dan sempurna, yang penting adalah sastra itu sendirilah yang harus mampu mengangkat topik bahasan yang biasa itu ke tingkat yang sublim. Aliran romantic juka mulai menghargai unsur humor/lucu yang cerdas (wit) dalam sastra, tidak hanya bahasan yang serius saja.
            Karya sastra Barat yang mendukung sejarah dari periode ini banyak yang digemari pembaca/peminat Indonesia. Misalnya, karya-karya di sekitar kehidupan Henry VIII yang dikenal dengan ”Si Janggut Biru” dan putrinya Ratu Elizabeth pertama, karena banyak menjelaskan perkembangan Inggris waktu itu yang sedang tumbuh sebagai Negara adidaya dalam kekuasaan kolonial dan di lautan. Di Perncis, novel yang banyak mengandung sejarah adalah di sekitar kehidupan napoleon Bonaparte, baik yang berhubungan dengan Revolusi Perancis (1789) maupun pengaruhnya terhadap dunia. Contohnya, adalah karya Leo Tolstoy yang berjudul ”War and Peace” yang sudah dibuat filmnya dengan judul yang sama.
            Dari Amerika, perang saudara abtara Utara dan Selatan (1851-1855) menjadi sumber ilham bagi banyak penulis novel. Antara lain karya margaret Mitchel yang berjudul (Gone With the Wind), sudah dibuat filmnya dengan judul yang sama. Buku/film ini berhasil menampilkan kehidupan hitam-putih kaum budak yang berkulit hitam versus pemiliknya, para tuan tanah kulit putih yang bertani kapas.
            Pada abad ke 20, analisis atau kritik sastra yang berdasar kepada teori, antara lain yang melihat adanya pengaruh ideologi ke dalam karya sastra banyak dipakai, walaupun analisis atau kritik sastra yang konvensional masih dipertahankan. Aliran kritik sastra baru juga bermunculan, karena keterbukaan untuk menggunakan beragam metode dan tujuan. Yang mutakhir adalah sastra yang membahas golongan minoritas, kajian gener, kajian ekologi, atau karya populer seperti komik dan fiksi pulp. Kajian gender dalam sastra yang akhir-akhir ini  sangat produktif, mendorong munculnya teori-teori feminisme dan kritik sastra-gender, yang banyak didukung sosiologi. Banyaknya karya eko-sastra membutuhkan juga analisis eko-kritik, yang menghubungkan sastra dengan ilmu pengetahuan alam (www://en.wikipedia.org./wiki/Literature_analysis (16/3/2009).
            Pada dekade tahun 1980-an aliran estetika dalam filsafah yang disebut postmodernisme mulai berkembang, yang pengaruhnya masuk juga je dalam sastra. Salah satu diantaranya yang terlahir dalam sastra adalah teori dekonstruksi dari Jacques Derrida (1966, 1978). Termasuk juga ke dalamnya adalah kritik sastra postkolonial, antara lain dari gayatri Spivak (gandhi, 1998: Morton, 2008).
            Salah satu bentuk kritik sastra kolonial adalah kritik yang diajukan oleh Edward Said dalam bukunya ”Orientalism” (1978). Pokok penting yang diajukannya adalah mengenai oposisi binarian ”Barat” versus ”Timur” dalam hubungan dominasi imperialisme Barat terhadap Timur dalam hal ini Dunia Ketiga. Dalam konteks ini, analisis sastra kolonial dapat dilakukan dengan mengambil karya sastra berbentuk buku atau film untuk dianalisis. Sebagai contoh, misalnya buku karya E.M. Forster berjudul ” A Passage to India”. Buku ini sudah dijadikan film dengan judul yang sama. Bukunya adalah tergolong sastra yang kental relevansinya dengan sejarah. Filmnya adalah media pembelajaran sejarah yang menggambarkan hitam-putihnya kolonialisme, atau oposisi binarian Barat vs. Timur, dalam prakteknya Inggris di India.
            Menulis adalah kegiatan intelektual yang menggairahkan! Juga merupakan proses yang menuntut kemahiran bahasa dan pemikiran yang luas. Sebaliknya dari pandangan penulis yang merupakan unit kreatif yang terisoler, menulis adalah proses sosial yang mencakup latar belakang, warisab budaya dan lingkungan sebaya yang ikut mempengaruhi pemikiran penulis dan masuk ke dalam hasil karyanya.
            Maka berdasarkan filsafah menulis seperti di atas, cobalah baca atau simak film yang akan Anda analisis, dan perhatikan aspek-aspek berikut:
v  Identifikasi tesis yang penulis/pembuat film angkat, juga retorika, asumsi, prasangka mereka dalam konteks sejarah, sosial dan budayanya;
v  Ajukan pertanyaan berdasarkan gagasan dan asumsi kita sendiri tentang isu-isu yang diangkat penulis/pembuat film.
v  Buatlah inkuiri dengan menggunakan ”Kritik Orientalisme”, yang memakai dekonstruksi dalam membaca buku/film ini, dan melepaskan koneksi antara kuasa (power) dengan ilmu pengetahuan dalam wacana kolonial;
v  Dengan melatih diri dalam menganalisis secara dekonstruktif, maka para mahasiswa melakukan kegiatan yang biasa disebut sebagai berpikir kritis, yang disebut sebagai ”praktek pembebasan” (liberating practise).

Cobalah latihan ini:
      Bagaimana membaca sebuah teks dan menentukan pokok bahasan dan sub-bahasannya.
      Bagaimana memeriksa bentuk argument dan buktibukti yang diajukan penulis dalam buku/film
      Bagaimana mengajukan pertanyaan yang tepat agar dapat menggali asumsi-asumsi yang tersembunyi di balik peristiwa/kejadian tertentu yang tercantum dalam buku/film?

Marilah kita periksa lahi apa yang kelas kita pernah diskusikan bersama pada waktu membaca buku karangan Pramudya Ananta Toer yang berjudul ”Bukan Pasar malam” (2006, Pen. Lentera Dipantara).
Kelompok yang bertugas presentasi mengajukan beberapa pokok bahasan penting dari buku ini, antara lain:
|  Perjalanan ”Aku” dari jakarta ke Blora, untuk menjenguk ayahnya yang sakit,
|  Perjalanan kereta api itu terjadi pada pasca revolusi (1951),
|  Alur waktu cerita disajikan secara ”retrogesif”,
|  Dialog terjadi antara “Aku” dengan “Bapa” dan “Aku” dengan “AKU”,
|  Kondisi sosial-ekonomis Bapa dan Keluarga
|  Kondisi sosial-ekonomis Blora dan Keluarga

            Makna judul buku dijelaskan kelompok penyaji sesuai dengan penjelasan yang terdapat pada rujukan di depan bab pertama, yang mengemukakan penderitaan dan kematian Bapak yang dialami sendiri waktu dilahirkan dan juga waktu kematian, dan tidak beramai-ramai bersamaan dengan orang lain seperti di pasar malam.
            Penulis buku yang menggunakan kata ganti pertama ”Aku” supaya akrabdi tangan pembaca, melukiskan kehidupan ayahnya yang pekerjaannya sebagai guru sekolah dasar dan sederhana hidupnya. Ayahnya tidak tergiur oleh tawaran jabatan anggota parlemen yang tentu akan lebih terjamin hidupnya apabila ia meu menerima, akan tetapi diragukan kejujuran dan ketulusannya dibandingkan dengan tugas seorang guru yang jelas berguna dalam mendidik murid-muridnya.
            Idealisme yang dimiliki seorang guru ini dikagumi oleh audience kelas, karena pada masa kini yaitu waktu para mahasiswa mengamati begitu banyak orang berlomba-lomba berambisi menjadi calon anggota legislatif agar meiliki kehidupan yang lebih baik, sungguh memberikan gambaran yang sebaliknya.
            Penderitaan penghidupan keluarga seorang guru sekolah dasar di Blora pada waktu sekitar revolusi dijelaskan dengan kematian adik penulis buku pada waktu kecil, disebabkan penyakit TBC. Kelompok menjelaskan, bahwa penyakit ini yang mudah menular, terutama disebabkan oleh gizi buruk, yang ternyata juga diderita oleh ”Bapak” dan menjadi penyebab kematiannya.
            Peserta diskusi menanyakan kondisi Blora pada umumnya. Inilah kesempatan kelompok penyaji mengaitkan sastra dengan sejarah, dengan menjelaskan kondisi sosial ekonomis Blora, yang sejak zaman penjajahan Belanda terkenal sebagai daerah perkebunan jati, dengan tanah yang terdiri dari bukit karang yang sulit untuk dijadikan daerah pertanian padi/sawah. Petani perkebunan jati terkenal dalam sejarah sosial sebagai penderita kemiskinan struktural, dan Blora dulu menjadi basis gerakan sosial petani yang disebut “Pemberontakan Samin Soerosentiko”.
            Yang diragukan kelompok  penyaji adalah bagian yang melukiskan dialog antara aku dengan “aku” dalam buku tersebut. Dalam analisis sastra sudah dikemukakan di atas, bahwa pendekatan multidisiplin biasa digunakan. Fasilitator menjelaskan, bahwa kemungkinan pendekatan yang perlu dipakai adalah teori psikoanalisisnya freud, yang menggambarkan dialog antara “Ego” dengan “Alter Ego”nya sang penulis. Apa yang baik dan yang buruk diperdebatkan dalam diri penulis, yaitu antara Ego dengan Alter Egonya.
            Kelompok penyaji kemudian mengambil kesimpulan dari buku ini, bahwa gambaran yang disajikan mengenai kehidupan rakyat di pulau Jawa sesudah revolusi, khususnya di Blora, sangat susah. Pengobatan ayahnya yang sakit TBC di rumah sakit seadanya, sampai akhirnya dibawa pulang ke rumah dan menemui ajalnya. Memang kondisi umum Indonesia, pasca Perang Dunia II dan revolusi masih sangat darurat, termasuk di bidang makanan dan kesehatan. Obat-obatan sangat terbatas, apalagi untuk penyakit TBC yang membutuhkan obat antibiotik Streptomycin, yang waktu itu belum ada, bahkan mungkin belum ditemukan. Para mahasiswa yang umumnya kelahiran tahun 1990-an tidak bisa memahami kondisi makanan dan kesehatan seperti itu. Lagi-lagi karena kesenjangan rentang waktu dan jiwa zaman.
            Yang juga didiskusikan pada waktu akhir, adalah tentang penulis sendiri. Pramudya Ananta Toer, dikenal mahasiswa hanya pada periode kekinian. Mereka hanya mengenal Pram melalui karya-karya Pulau Burunya (Tetralogi Bumi manusia, dsl.), untuk kemudian mereka mencari karya-karyanya waktu revolusi. Dikotomi waktu Pram menjadi anggota Lekra dan dibuang ke Pulau Buru pada masa pemberontakan PKI 1965 hanya mereka ketahui melalui wacana (Hilmar Farid, dalam Nordholt, Purwanto, dan Saptari, 2008).
            Ternyata mengenai sejarah sastra Indonesia, yang dimulai sejak Balai Pustaka dan selanjutnya, hanya sedikit yang mereka ketahui. Karena kondisi pengaruh globalisasi, dan karena usia, wacana sastra yang disukai mahasiswa dan dibaca, menunjukkan kecenderungan yang mengarah kepada yang sedang “trend” waktu ini saja.
            Sedemikian kayanya khazanah sastra domestik atau sastra dunia yang mendukung pembelajaran sejarah, dengan tujuan memperhalus budi, memperdalam pemahaman, memberikan gambaran yang lebih jelas, sehingga sejarah sebagai pendidikan nilai mampu menanamkan kesadaran kemanusiaan, serta m,enempa dan membentuk keperibadian peserta didik.

PERAN NOVEL SEJARAH DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH

Telaah Novel dalam Kaitannya Tujuan Pembelajaran Sejarah
Carr menyatakan, bahwa “history is a continuous process of interaction between the historian and his facts, and unending dialogue between the present and the past”, artinya sejarah adalah suatu proses interaksi yang terus menerus antara sejarawan dengan fakta-fakta yang ada padanya, suatu dialog yang tidak ada akhirnya antara masa sekarang dengan masa silam” (1982: 30). Benjamin (1991: 1-2) menguraikan fungsi dari belajar sejarah.
By studying the record that previous generations have left, we can find our about the kind of lives they led and how they faced their problems. We can use what we learn about the experiences of people who lived before us to help solve problems we face today. Though the modern world is quite different  from the societies in which our ancestor lived, the story of their accomplishments and failuresnis only yardstick by which we can measure the quality of our own lives and the success of our sosial arrangements.

Wineburg (2007: 6) menilai sejarah perlu diajarkan di sekolah karena memiliki potensi untuk menjadikan manusia berkeperikemanusiaan, hal yang tidak dilakukan oleh semua kurikulum pembelajaran lainnya di sekolah. Lebih jauh Wineburg menjelaskan bahwa jika dimanfaatkan dengan baik dengan menyelaraskan kebutuhan kekinian dan mengabaikan yang tidak sesuai lagi sejarah akan menjadi sangat berguna. Menurutnya masa lalu menjadi tanah liat, kita tidak dituntut untuk memperluas pemahaman kita untuk belajar dari masa lalu. Justru sebaliknya, masa lalu kita bengkak-bengkokkan sekehendak hati kita agar sesuai dengan makna yang telah lebih dahulu kita tentukan baginya (2007: 8).
            Dengan menggunakan strategi yang tepat dalam memahami nilai-nilai sejarah, pembelajaran sejarah dapat mempertinggi sikap kritis dan daya kreatif bangsa terutama untuk menjawab berbagai tantangan bangsa pada masa kini. Pengajaran sejarah yang normatif seperti ini dalam beberapa hal diakui oleh para ahli telah berperan dalam pewarisan nilai-nilai luhur bangsa untuk memperkuat tujuan pendidikan. Mempelajari sejarah bukannya sekedar untuk memahami masa lampau itu sendiri, tetapi bermakna dalam pencarian pelajaran dan antisipasi masa kini dan mendatang. Hal ini sesuai pula dengan ungkapan Seeley (Wiriaatmadja, 2003: 93) yang mempertautkan  masa lampau dengan sekarang dalam pemeonya ;”We study history, so that we may be wise before the event”.  
Sjamsuddin (2008: 267-268) mengulas beberapa kritik terhadap pembelajaran sejarah, yaitu: pertama,  materi sejarah terlalu banyak sehingga pengajar dan anak didik kewalahan. Kedua, metode ceramah yang digunakan oleh guru yang seharusnya berpusat pada siswa dan dialogis. Ketiga, guru terpokus pada penyelesaian materi (kejar tayang) sehingga guru sejarah hampir tidak ada waktu untuk melakukan pengembangan ”inovasi pembelajaran”. Keempat, menyangkut pengangkatan PNS, tidak semua guru berasal dari Jurusan Pendidikan Sejarah. Kelima, berkaitan dengan mahasiswanya, mereka memilih jurusan pendidikan sejarah pada pilihan kedua, akibatnya mereka kuliah tidak sepenuh hati. Keenam, budaya baca belum merasuk kedalam setiap kalangan, sedangkan ”membaca” merupakan salah satu syarat mutlak dalam belajar sejarah.. 
            Dalam perspektif Wiriaatmadja (2002), seorang pendidik sejarah yang baik tidak hanya menguasai materi sejarah dengan baik dalam konteks lokal, nasional, maupun global, tetapi juga mahir menerapkan teknik dan metodologi mengajar agar relevan dengan tujuan-tujuan pendidikan. Dalam menghadapi kehidupan saat ini, peserta didik tidak hanya membutuhkan keterampilan intelektual saja, namun ia juga membutuhkan ketegaran, keuletan, kesetiaan, kemampuan berinteraksi sosial, dan kemanusiaan sehingga pendidikan sejarah di sekolah jangan hanya kental dengan pengembangan kegiatan berpikir (ranah kognitif) dengan mengabaikan domain efektifnya dan pendidikan nilai.
            Hakam (2000:05) mengungkapkan bahwa pendidikan nilai adalah pendidikan yang mempertimbangkan objek dari sudut moral dan sudut pandang non moral, meliputi estetika, yakni menilai objek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi, dan etika yaitu menilai benar atau salahnya dalam hubungan antarpribadi. Dari definisi di atas, dapat dimaknai bahwa pendidikan nilai adalah proses bimbingan melalui suri tauladan pendidikan yang berorientasi pada penanaman nilai-nilai kehidupan yang di dalamnya mencakup nilai agama, budaya, etika, dan  estetika  menuju pembentukan pribadi peserta didik yang memiliki kecerdasan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian yang utuh, berakhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, dan negara. Sementara tentang pentingnya pendidikan nilai, Combs (Hakam, 2000: 74) mengemukakan beberapa pertimbangan bahwa terdapatnya kekeliruan sementara orang, yakni:
1)      yang memisahkan antara pendidikan intelektual dan pendidikan afektif seolah-olah dunia persekolahan disuruh memilih apakah akan membina peserta didik yang cerdas tetapi gila atau membina peserta didik yang tenang tetapi bodoh.
2)      ada orang yang memisahkan antara private culture dan public culture, sementara pendidikan nilai dipandang sebagai private culture yang merupakan otoritas keluarga dan lembaga keagamaan semata, sehingga sekolah tidak perlu mengajarkan pendidikan nilai karena hanya akan menimbulkan konflik.
            Terabaikannya pendidikan nilai, menurut McLuhan (Djahiri, 2008) akan memunculkan manusia yang cerdas otaknya namun tumpul emosinya. Potret ini disejumlah tempat sudah mulai nampak. Proses emoting-minding, spiritualizing, valuing dan mental round trip dikalahkan oleh proses thinking and rationalizing. Pembelajaran berlandaskan nilai moral yang normatif/luhur/suci/religius kalah oleh pembelajaran theoretic-conceptual based dan perhitungan untung rugi rasional-keilmuan dan atau yuridis formal.
Sangat kuat anggapan di kalangan siswa bahwa belajar sejarah tidak lain dari belajar menghafal fakta-fakta. Pandangan yang demikian menyebabkan munculnya sikap yang memperlihatkan rasa bosan, tidak tertarik pada bidang sejarah, dan merasa belajar sejarah sebagai beban yang tidak ada gunanya. Banks (1985: 226-227) mengemukakan, mempelajari sejarah tidak hanya mempelajari apa yang tersurat dalam buku-buku sejarah atau produk terhadap sejarah, tetapi bagaimana memecahkan masalah sejarah tersebut melalui metodologi sejarah. Dengan demikian, siswa dapat memahami mengapa kehidupan manusia selalu berubah (tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan).


Pentingnya Budaya Baca dalam Pembelajaran Sejarah
            Data bahwa studi IAE pada tahun 2006 menempatkan Indonesia pada peringkat terbawah dalam hal minat membaca. Menurut data UNDP pada tahun 2000, tingkat melek hurup orang Indonesia adalah 65,5%. Kelemahan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia bukan terletak pada minat membaca saja, tetapi juga pada daya serap bahan bacaan. Cara menumbuhkan minat membaca menurut Sutikno (2006: 95) adalah dengan menumbuhkan rasa ingin tahu yang tinggi. Selanjutnya dari sikap ingin tahu tersebut, timbul sikap konsentrasi membaca dan tingkat fokus bacaan yang baik. Budaya membaca merupakan ciri pembangunan budaya dalam masyarakat atau bangsa yang berorientasikan pendidikan dan keilmuan. Lord Bacon, seorang ahli falsafah Inggris, pernah mengatakan bahwa ”membaca menjadikan seseorang itu berisi” Sutikno (2006: 95).
            Seperti yang disarankan oleh Ahmad dan Sulaiman (2005), salah satu cara untuk meningkatkan minat baca anak adalah dengan memulainya mengenalkan pada bacaan-bacaan yang ringan seperti cerpen, roman, atau novel. Lebih lanjut Sutikno (2006: 93-95) mengungkapkan bahwa novel yang bermutu dapat menimbulkan rasa ingin tahu anak dan mendorongnya untuk membaca. Dengan demikian, novel bisa dijadikan wahana untuk meningkatkan minat baca anak.
            Budaya membaca akan melahirkan budaya menghayati bacaan yang tercermin dalam sikap-sikap berikut (Sutikno,2006).
1)      Budaya membaca yang tinggi dan kecintaan luar biasa terhadap buku.
2)      Pembeli buku dan bahan bacaan yang luar biasa.
3)      Mempunyai koleksi buku atau perpustakaan pribadi.
4)      Dapat membedakan bahan bacaan yang bermutu dan yang sebaliknya.
5)      Unsur-unsur intelektualisme tergambar dalam dirinya seperti pemikiran, cara berpikir, kelancaran bahasa, wacana dan sebagainya.
6)      Meminanti secara serius hal–hal yang berkaitan buku dan dunia perbukuan.
            Beberapa kebiasaan membaca yang menghambat kecepatan membaca antara lain: vokalisasi (membaca dengan bersuara), gerakan bibir, gerakan kepala, menunjuk dengan jari, regresi (kembali mengulang bacaan sebelumnya), subvokalisasi (melafalkan dalam batin). Menurut Soedarso (2006: 11) ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kecepatan membaca, yaitu: setiap membaca buku harus memiliki tujuan, melihat dengan otak (mata dan otak terus-menerus menganalisis isyarat yang diterima dan membandingkan dengan pengalaman yang sudah lampau, imformasi yang banyak sekali diterima sebelumnya dijadikan dasar untuk memberikan reaksi atas masuknya suatu isyarat), gerakan mata dalam membaca, dan meningkatkan konsentrasi.

Telaah Novel dalam Kaitannya dengan Teori Belajar
Teori belajar disebut juga dengan istilah “teori perkembangan mental” yang pada prinsipnya berisi tentang apa yang terjadi dan apa yang diharapkan terjadi pada mental anak/peserta didik (Winkel, 1987). Implementasi kegiatan pengembangan mental ini dilakukan sesuai dengan usia atau tahap perkembangan mental tertentu. Maksudnya pada tahap ketika peserta didik memiliki kesiapan untuk melakukan kegiatan belajar. Sedangkan teori mengajar adalah uraian tentang petunjuk bagaimana seharusnya mengajar anak/peserta didik pada tahap usia “siap” menerima pelajaran (Winkel, 1987). Pada hakikatnya proses belajar merupakan kegiatan mental yang tidak dapat dilihat. Artinya, proses perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang yang sedang belajar, tidak dapat disaksikan dengan kasat mata (Hill, 2009). Kita hanya mungkin dapat menyaksikan sekedar adanya gejala-gejala perubahan perilaku yang tampak.
Pembelajaran sejarah dengan menggunakan novel sejarah merupakan salah satu pembelajaran afektif. Winkel (1987: 41), menyatakan bahwa belajar afektif ciri khasnya terletak dalam belajar menghayati nilai dari objek-objek yang dihadapi melalui alam perasaan, entah objek itu berupa orang, benda, kejadian/peristiwa; ciri yang lain terletak pada belajar mengungkapkan perasaan dalam bentuk ekspresi yang wajar. Dalam kajian psikologi belajar, sejak kecil orang harus belajar menerima perasaannya sebagai bagian dari kepribadiannya sendiri. Dengan demikian, dia mampu menguasai ungkapan perasaannya dan tidak kehilangan kontrol rasional. Dalam hal ini anak didik harus mendapat pendidikan pula supaya alam perasaan berkembang menjadi kaya dan luas sehingga ia dapat mengungkapkan perasaannya dalam bentuk ekpresi yang wajar dan diterima masyarakat (Winkel, 1987: 41).
Pembelajaran sejarah dengan menggunakan media novel bisa menggunakan teori belajar yang dikembangkan oleh Barbara K. Given, yaitu sistem pembelajaran emosional. Given (2007: 79) memiliki keyakinan bahwa emosi negatif pasti menghambat prestasi akademis, sementara emosi positif bisa meningkatkan perolehan pengetahuan dan keterampilan. Emosi menghubungkan tubuh dan otak dan menyediakan energi untuk memacu prestasi akademis, juga kesehatan dan keberhasilan pribadi, karena semua yang kita lakukan dikendalikan oleh emosi (Goleman, 1995: 187). Emosi tidak dapat diabaikan dan sangat penting dalam proses pembelajaran karena setiap emosi memotivasi siswa dapat mempengaruhi kepribadian siswa dan pada akhirnya mempengaruhi kemampuan belajar mereka (Given, 2007: 119).
Sistem pembelajaran emosional harus dapat membantu siswa untuk mengungkapkan gagasan dan aktivitas yang mereka sukai dan guru perlu memasukan rencana pelajaran yang mengembangkan tujuan pribadi. Dalam pembelajaran emosional guru harus mampu menyamakan langkah dengan emosi siswa, meskipun hal tersebut memang tidak mudah. Given (2007: 121) mengilustrasikan jika seorang siswa merasa sedih, guru perlu menyelaraskan diri dengan nada kesedihan dan jika guru mengabaikan kesedihan dan mengajar dengan antusias, kemungkinan besar anak itu bereaksi dengan bersikap tidak peduli atau bahkan marah. Given memberikan contoh pembelajaran emosional dalam sejarah sebagai berikut.
Ketika siswa belajar tentang tokoh sejarah, pembahasan di kelas tentang bagaimana perasaan si tokoh-ketakutan, kesedihan, atau cita-cita apa yang mendorongnya untuk bertindak- memberi sudut pandang emosional yang bisa dirasakan siswa tanpa harus menarik perhatian terhadap dirinya sendiri. Selain itu guru  bisa menggunakan cerita (termasuk novel sejarah) untuk membantu anak-anak mengenali beragam karakter. Cerita juga bisa mendukung kecakapan analitis remaja dan memperhalus transisi dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan. Siswa akan merasa dibolehkan kembali mengenang masa lalu sambil membuat keterkaitan dengan tokoh-tokoh cerita dengan cara yang lebih dewasa. Emosi bisa dibahas secara tidak langsung melalui tokoh-tokoh itu sehingga siswa tidak merasa canggung (Given, 2007: 126).

            Salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh guru sejarah yang selalu menggunakan metode ceramah adalah kemampuan bercerita. Menurut Cahyani (2005: 337), kebiasaan para guru untuk mendongeng atau bercerita untuk siswa dikelas ternyata sangat bermanfaat untuk masa depan umat manusia karena dapat meningkatkan kemampuan imajinatif, matematika, dan kemampuan bahasa. Menurutnya, ketiga kemampuan tersebut merupakan tulang punggung kemajuan peradaban manusia. Mengutip pendapat Descartes, Cahyani mengungkapkan bahwa orang yang memiliki daya nalar yang tinggi dan yang mampu mengatur pikirannya dengan cara yang sebaik-baiknya agar jelas dan mudah dimengerti orang, selalu paling mampu meyakinkan orang lain dengan cara berbicaranya. Dari acuan ini dapat dikatakan bahwa daya nalar yang tinggi terletak pada kemampuan berbicara. Bercerita adalah menyampaikan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan orang lain mau mendengar, mengerti, dan menerima sesuatu yang disampaikan.
            Cahyani (2005: 342-343) mengungkap secara detail manfaat dari penggunaan cerita dalam pembelajaran, yaitu komunikasi yang menarik perhatian anak-anak, melatih daya konsentrasi anak, mengajak siswa ke alam fantasi, melatih anak-anak berasosiasi, mengasah kreatifitas, media bersosialisasi, memupuk rasa keindahan dan kehalusan budi, membangkitkan keharuan dan kepekaan, mengolah emosi dan kepribadian siswa, media identifikasi, memperjelas sebuah konsep, memicu daya kritis, melatih berpikir sistematis, rekreasi batin, jembatan nilai-nilai kehidupan, pengalaman ”bermakna” bagi anak, mengajak siswa mengenal kebesaran sang pencipta, mendorong anak mencintai buku, dan gemar membaca, menanamkan nilai-nilai luhur, dan mengasah intelektual anak-anak.
            Sastra termasuk novel sejarah merupakan bagian dari budaya dan kehidupan kita  sebagai manusia. Penggunaan bahasa yang baik dan efektif serta imajinatif dalam sastra  dapat membuahkan pengalaman-pengalaman estetika serta respon-respon intelektual dan emosional (Tarigan, 1995:5). Hal tersebut menurut Tarigan (1995: 5-6) akan menyebabkan pembacanya merasakan dan menghayati para tokoh, aneka konflik, berbagai unsur dalam suatu latar, dan masalah-masalah kesemestaan manusia; juga akan dapat membantu pembacanya mengalami kesenangan, keindahan, keajaiban, kelucuan, serta keputusasaan. Secara psikologi respon terhadap karya sastra akan sangat ditentukan oleh pengalaman hidup, bacaan, bayangan masa lalu dan masa depan, dan suasana masa kini (Tarigan, 1995: 6). Secara psikologis, pada umumnya orang dewasa pada umumnya cenderung menoleh ke masa lalu untuk bernostalgia; remaja menatap jauh ke masa depan penuh dengan cita-cita, dan anak-anak sibuk dengan masa kininya.
            Menurut Supriatna (2007: 175), keterampilan membaca merupakan aspek yang penting dalam memperoleh informasi. Mengutip pendapat Garvey dan Krug, Supriatna (1975: 175-176) mengungkapkan lima jenis keterampilan yang terkait dengan memperoleh informasi dari buku sebagai berikut.
1)      Keterampilan merujuk yang terkait dengan keterampilan menemukan informasi melalui daftar isi, bab, sub-bab, indeks, dan lain-lain.
2)      Keterampilan pemahaman, yaitu dengan memahami isi buku, teks tertulis, kata dan prase, hubungan antar gagasan, diagram, peta, dan lain-lain.
3)      Keterampilan menganalisis dan mengkritisi, yaitu keterampilan yang terkait dengan keterampilan bertanya, dan karenanya para siswa perlu dibekali keterampilan membaca dan bertanya untuk melihat aspek atau masalah tertentu
4)      Keterampilan mengembangkan imajinasi yang kaitannya dengan pelajaran sejarah. Keterampilan imajinasi siswa yang terkait dengan peristiwa sejarah, tokoh sejarah, serta aspek-aspek lain.
5)      Keterampilan membuat catatan yang terkait dengan keterampilan merangkum, mencatat, meringkas isi bacaan, dan memproduksi pengetahuan sejarah.

Zeitgeist (Jiwa Zaman) dalam Novel
            Zeitgeist dalam Collins English Dictionary (Sons, 2003) didefinisikan (Historical Terms) the spirit, attitude, or general outlook of a specific time or period, esp as it is reflected in literature, philosophy, etc. Sementara dalam wikipedia, zeitgeist didefinisikan "the spirit of the times" and/or "the spirit of the age." Zeitgeist is the general cultural, intellectual, ethical, spiritual, and/or political climate within a nation or even specific groups, along with the general ambience, morals, and sociocultural direction or mood of an era (similar to the English word mainstream or trend).
            Aspirasi pokok sejarah intelektual ialah adanya Zeitgeist (jiwa zaman) dan pandangan sejarah idealistik yang berpendapat bahwa pikiran-pikiran mempengaruhi perilaku. Bagi sejarawan yang beraliran new cultural historian, yang tidak lagi memisahkan fakta dan fiksi, sangat menganggap penting setiap karya sastra yang lahir pada suatu zaman (Sambodja, 2009). Karena, dengan pendekatan itu mereka juga bisa melihat perilaku dan perubahan budaya suatu masyarakat melalui karya sastra. Para sejarawan juga bisa menilai nilai-nilai yang berkembang di suatu masyarakat pada zaman tertentu dari karya-karya sastra yang lahir pada zaman itu.
            Greenblattt menawarkan pembaharuan atas pendekatan sejarah yang pada waktu itu masih dominant dalam kritik sastra di Amerika, yakni kecenderungan melihat sastra sebagai cermin yang secara transparan dan pasif merefleksikan budaya dan masyarakatnya (Budianta, 2006). Dalam perspektif yang baru, karya sastra ikut membangun, mengartikulasikan dan memproduksi konvensi, norma, dan nilai-nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinasi kreatifnya. Teks memang merupakan produk dari kekuatan sosial historis pada zamannya, tetapi pada saat yang sama teks juga menghasilkan dampak sosial.
            Sebuah karya sejarah, terkadang tidak saja bersumber pada data dan fakta konvensional, seperti arsip, buku, ensiklopedi, surat, dan lain sebagainya, yang kebanyakan hanya dapat menujukkan realitas di bagian permukaan saja. Akan tetapi, harus pula dapat menggunakan sumber alternatif lain, terutama karya-karya sastra, seperti novel, roman, cerpen, puisi, dan lain sebagainya. Memang karya sastra tidak memisahkan unsur-unsur riil dan khayal. Namun demikian, sudah menjadi tugas seorang sejarawan untuk memisahkan itu. Usaha mempergunakan berbagai karya sastra lebih banyak membantu, daripada merugikan, terutama mendapatkan data sosial yang sangat berharga dan tidak dapat didapatkan dari keterangan-keterangan sumber konvensional (Manurung, 2009) 
            Selain itu, penggunaan karya sastra juga sangat membantu seorang sejarawan, terutama dalam tahapan interpretasi, untuk berimajinasi yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan masa kini dan masa lampau. Terkadang berbagai sumber konvensional hanya berupa data yang kaku sehingga tidak dapat menggambarkan realitas yang terjadi pada masa lampau. Kekurangan itu sebenarnya dapat diatasi menggunakan berbagai karya sastra. Novel, misalnya, walaupun ada nilai-nilai yang bersifat khayal, namun pengambaran dalam novel adalah realitas yang mewakili jiwa zamannya. Oleh karena itu, karya-karya sastra tidak boleh diabaikan dalam mengungkapkan realitas masa lampau yang penting dalam membantu menjelaskan kejadian-kejadian di masa lampau secara utuh (Manurung, 2009) 
            Esten (1990: 40) mengungkapkan bahwa dengan memahami novel-novel sejarah kita akan mendapatkan gambaran dari suatu proses perubahan sosial dan tata nilai, dan kita akan melihat bahwa perkembangan novel-novel tersebut merupakan suatu proses  yang berpangkal dari perubahan sosial dan tata nilai tadi. Sastra sebagai sebuah karya tidak muncul dari khayalan saja, tetapi seorang pengarang mengambilnya dari realitas kehidupan yang terjadi.
            Pada dasarnya, sastra adalah sebuah media yang menjembatani masyarakat untuk membahasakan apa yang terjadi di lingkungannya. Dunia yang tidak lepas dari pendidikan, politik, ekonomi dan tempat di mana mereka memposisikan diri sebagai seorang warga negara. Segala sisi kehidupan itu menjadi sorotan bagi seorang pengarang. Seorang pengarang mengambil satu sisi kehidupan yang dianggapnya patut diperbincangkan, lalu dengan pemikiran dan kreatifitasnya, ide-ide tersebut disejajarkan dengan kejadian di dunia keseharian yang biasa dihadapi oleh masyarakat. Tampak bahwa sastra berakar dari lingkungan sosial, di mana masyarakatnya saling berhubungan dan membentuk interaksi di dalamnya.
            Karya sastra juga merupakan refleksi evaluatif perikehidupan seorang pengarang. Semakin intens ia menghayati kehidupan, semakin dalam pula hasil evaluasinya yang diungkapkan. Biasanya pengarang menampilkan sisi lain yang langsung menyentuh kemanusiaan. Demikian juga berbagai soal dalam kehidupan manusia ini akan tetap menjadi sumber bagi seorang pengarang. Ia akan terus menggalinya sampai ke hakikat kehidupan serta berupaya menemukan makna yang terkandung di dalamnya. Pada tingkat kesadaran yang tinggi, apa yang diajukan sastrawan adalah hasil dialog antara dirinya dengan lingkungan realitas, yang berbagai dimensi itu, sedangkan pada tingkat kesadaran yang rendah karya sastra itu adalah pantulan dari realitas itu (Abdullah, 1983: ix).

Historical Thinking dan Historical Understanding
Kamarga (2007) mengungkapkan bahwa berpikir kesejarahan merupakan struktur, maka pemahaman kesejarahan merupakan isi dari sejarah itu sendiri sehingga diantara keduanya tidak dapat dipisahkan dan harus diberikan sebagai materi sejarah secara utuh. Buckingham (Wineburg, 2006: 53) mendefinisikan secara sederhana  apa itu “berpikir sejarah” sebagai pengetahuan tentang fakta. Wineburg melihat definisi yang diungkap oleh Buckingham tersebut terlalu lemah. Wineburg (2006: 10) menyimpulkan bahwa mampu berfikir sejarah, berarti mengharuskan berfikir dengan cara yang bertentangan dengan cara berfikir sehari-hari. Wineburg bersepakat dengan pendapat Ginzburg bahwa tujuan belajar sejarah adalah mengajarkan apa yang tidak dapat kita lihat. Wineburg (2006: 10) menilai bahwa mengingat nama-nama, tanggal-tanggal, dan kejadian-kejadian jauh lebih mudah daripada mengubah struktur dasar cara berpikir kita yang kita gunakan untuk memahami makna masa lalu. Historical thinking Skills adalah kemampuan berpikir kesejarahan yang memungkinkan siswa untuk membedakan masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang; membangun pertanyaan; mencari dan mengevaluasi bukti-bukti, membandingkan dan menganalisis kisah-kisah sejarah, ilustrasi-ilustrasi, dan catatan-catatan dari masa lalu; menginterpretasikan catatan-catatan sejarah; dan mengkonstruksi sejarah menurut versi masing-masing siswa (Ma’mur, 2008: 197).
Wineburg (2006:10) berpendapat bahwa proses berpikir sejarah bukanlah proses alami dan bukan pula sesuatu yang muncul begitu saja dari perkembangan kejiwaan. Memahami sejarah menurut Wineburg (2006:16) adalah “melihat melalui kacamata orang hidup pada masa lalu dan sejarah seharusnya mengajarkan kepada kita apa yang tidak dapat kita lihat, untuk memperkenalkan kita kepada penglihatan yang kabur sejak kita lahir. Dengan memiliki kemampuan historical thinking siswa akan mampu berpikir kronologis, memahami perubahan dalam kurun waktu, menganalisis literatur sejarah, memahami cara mencari sumber sejarah, memahami konsep sebab akibat dalam sejarah, dan memahami interpretasi sejarah
            Drake (Supardan, 2000) berpendapat bahwa berpikir kronologis merupakan “jantung-nyadalam berpikir kesejarahan. Selanjutnya Drake mengemukakan sedikitnya tujuh kemampuan siswa yang dituntut dalam berpikir kronologis. Di bawah ini contoh keterampilan berpikir kronologis kesejarahan, mencakup:
a.       Terampil membedakan antara masa lampau, kini, dan masa depan.
b.      Terampil mengidentifikasi struktur temporal dalam cerita sejarah dari  sebuah cerita sejarah atau kisah. 
c.       Terampil menyusun tatanan temporal dalam menyusun cerita kesejarahan tentang mereka sendiri. 
d.      Terampil mengukur  dan memperhitungkan  kalender waktu.
e.       Terampil menginterpretasikan  data dan mampu menyajikan bentuk dalam  bentuk garis waktu.
f.       Terampil merekkonstruksi kembali pola-pola rangkaian dan durasi ( lamanya).
g.      Terampil membandingkan model-model alternatif untuk periodisasi.
Historical understanding adalah standard yang menetapkan bahwa siswa sebaiknya mengetahui sejarah keluarganya, komunitasnya, negara bagiannya, bangsa dan dunia. Pengertian-pengertian ini dilukiskan berdasarkan catatan-catatan mengenai aspirasi-aspirasi kemanusiaan, perjuangan, prestasi-prestasi, dan kegagalan-kegagalannya dalam sedikitnya lima ranah kegiatan manusia, seperti sosial, politik, ilmu dan teknologi, dan budaya yang dinilai tepat bagi siswa (Nash, 1996). Historical understanding adalah apa yang harus diketahui oleh siswa tentang sejarah (keluarga, masyarakat, negara, dan  dunia) dan pemahaman ini digambarkan dari catatan (aspirasi, usaha, perlakuan, kegagalan) aktivitas manusia dalam aspek sosial, politik, sains/teknologi, ekonomi, budaya, yang diselaraskan dengan tingkat pemahaman atau perkembangan siswa (Kamarga, 2008).  Historical understanding yang diharapkan dari pembelajaran sejarah antara lain:
a.    Melalui sejarah diperoleh pemahaman yang mendalam tentang masyarakat, perbedaan, dan perubahan pola struktur keluarga, perbedaaan peran laki-laki dan perempuan, peran anak dan kehidupan masa kanak-kanak, dalam berbagai kelompok yang bervariasi, dan hubungan antara individu dan kelompoknya.
b.    Melalui sejarah, siswa memperoleh pemahaman yang mendalam tentang pola ilmiah untuk mencari pemahaman tentang dunia tempat manusia hidup dan melakukan sesuatu dengan lebih baik/efisien; pemahaman tentang apa yang diperoleh manusia termasuk perkembangan sains dan teknologi yang menciptakan terjadinya perubahan.
c.    Melalui sejarah, siswa mulai memahami iklim politik yang berkembang dalam masyarakat lokal sampai kepada masyarakat dunia.
            Bell dan McCollum (Wineburg, 2006: 48) memaparkan hasil penelitiannya mengenai berbagai cara untuk mengukur pemahaman sejarah, yaitu:
a.       Kemampuan memahami peristiwa sekarang berdasarkan masa lalu,
b.      Kemampuan menyaring hasil dokumen (surat kabar, desas-desus, serangan peristiwa, uraian sejarah masa kini) dan membangun dari semua bahan tersebut uraian yang jelas dan masuk akal mengenai apa yang terjadi.
c.       Kemampuan menghayati uraian sejarah
d.      Jawaban berdasar renungan dan tajam atas pertanyaan-pertanyaan bersifat menuntut pemikiran yang dalam tentang situasi sejarah tertentu.
e.       Kemampuan menjawab pertanyaan berdasar fakta tentang tokoh dan peristiwa sejarah.

Langkah-Langkah Penggunaan Novel Sejarah Dalam Pembelajaran
          Mengutip pendapat Johnson, King, dan Cain, Weiner (2001) mengungkapkan bahwa penggunaan novel sejarah sepanjang digunakan bersamaan dengan buku teks dan sumber primer telah membuat sejarah menjadi lebih menyenangkan dan berkaitan dengan kehidupan siswa. Weiner (2001) berargumen bahwa novel sejarah telah membangun cara pandang dari masyarakat bawah yang banyak mengungkap permasalahan kehidupan dan pengalaman mereka.
            Wiriaatmadja (2002: 118-120) menguraikan beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam proses pembelajaran sejarah dengan memanfaatkan novel sejarah, yaitu:
a.       menentukan terlebih dahulu topik sejarah yang akan dibahas agar kita dapat menseleksi novel sejarah yang relevan,
b.      memberikan latar belakang sejarah bagi fiksi sejarah tadi,
c.       membaca novel tersebut,
d.      untuk menunjang telaah fiksi sejarah ini digunakan dengan berbagai kegiatan pengayaan.
            Hertz (2007) dalam uraiannya membuat suatu rancangan yang dapat digunakan guru atau dosen untuk membantu penggunaan novel sejarah di dalam kelas sejarah. Menurutnya, guru sejarah dapat menggunakan novel sejarah untuk memperjelas, menguatkan, dan melakonkan tema dan peristiwa sejarah yang para siswa kesulitan mengingat atau memahaminya. Roman sejarah dapat mempermudah memahami sejarah untuk siswa yang kebingungan, tidak tertarik, atau  tidak mau menerima buku teks sebagai sumber pembelajaran (Hertz, 2007).  
            Ada beberapa hal yang harus guru dan siswa penting pahami sebelum menggunakan novel sejarah dalam pembelajaran di kelas. Penting bagi guru dan para siswa untuk mempertimbangkan beberapa petunjuk untuk mengevaluasi ketelitian roman historis itu. Petunjuk untuk meneliti data dapat dibagi menjadi empat utama ketegori yaitu: seting, karakter, alur cerita, dan tema. Heartz (2007) mengusulkan pertanyaan untuk meneliti fiksi historis, yaitu:
a.       Seting ( waktu dan tempat)
1)      Adakah pengarang teliti dalam menguraikan periode historis tertentu di dalam novel?
2)      Daftar beberapa detil yang menguraikan periode sejarah tertentu dan paralel dengan studi tentang periode historis tertentu seperti keadaan geografi, transportasi, seragam atau pakaian, adat istiadat, agama, tata sosial, dan sikap sosial.
3)      Apakah detil tempat yang terdapat dalam novel tersebut itu asli?
4)      Apakah uraian tempat terjadi peristiwa cocok pada periode historis tertentu?
b.      Karakter
1)      Adakah tokoh historis yang dikenali siswa? Buat daftarnya.
2)      Apakah figur yang historis tersebut dideskripsikan secara panjang lebar dalam novel tersebut?
3)      Cek karakter yang dilukiskan dari tokoh sejarah tersebut kemudian bandingkan dengan buku teks sejarah?
4)      Apakah karakter khayalan sesuai dengan seting sejarahnya?
5)      Daftar karakter yang antagonis dan protagonis baik itu tokoh historis atau tokoh khayalan dan tunjukan bagian dari roman yang mendukung ciri ini.
6)      Jelaskan keterlibatan karakter itu di dalam peristiwa sejarah.
7)      Bagaimana peran dalam setiap karakter dalam roman tersebut?
c.       Alur cerita
1)      Apakah alur cerita memusatkan pada suatu peristiwa sejarah tertentu?
2)      Apakah tokoh sejarah di dalam roman tersebut mengambil bagian pada suatu peristiwa sejarah terkenal?
3)      Apakah konflik yang digambarkan itu  riil atau khayal?
4)      Apakah tokoh tersebut melakonkan suatu momen sangat penting di dalam sejarah?
d.      Tema. Dengan tema tertentu, pengarang menggunakan orang-orang dan peristiwa dari masa lalu untuk menerangkan beberapa kebenaran pada masa lampau.
e.       Ringkasan.
1)            Menurut pendapatmu, mengapa pengarang memilih untuk menulis tentang peristiwa historis tertentu tersebut?
2)            Apakah pengarang memiliki cara pandang baru mengenai tokoh sejarah atau peristiwa sejarah tersebut?
3)            Mengapa ini dipertimbangkan sebagai suatu roman historis?
4)            Apakah roman ini termasuk suatu roman sejarah yang baik atau jelek berdasarkan pada definisi fiksi historis yang sebelumnya?
5)            Apa yang kondisi sosial  yang diungkapkan pengarang dalam novel tersebut?
6)            Bagaimana komentar pengarang yang kamu pikirkan tentang kondisi sosial tersebut?
7)            Bagaimana menghubungkan kondisi sosial tersebut dengan kondisi zaman ini?
8)            Bagaimana karakter yang digambarkan dapat mengungkapkan tema novel sejarah tersebut?
9)            Apakah roman ini mencerminkan tema lebih dari satu?
10)        Apakah ada lebih dari satu pandangan mengenai tema yang terdapat dalam roman tersebut?
            Dalam ulasan terakhir, alangkah baiknya diungkapkan strategi yang dikembangkan oleh Lidquist (2008) untuk mengurangi kesulitan yang dialami siswa untuk membedakan masa fakta dan fiksi dalam novel sejarah dan lebih memahami bagaimana interpretasi dalam sejarah, yaitu dengan cara:
a.       Tingkatkan kesadaran siswa. Guru harus memberikan ulasan bahwa novel dan sejarah adalah genre yang berbeda.
b.      Undang beberapa ahli. Mengundang ahli ke dalam kelas maka siswa mempunyai kesempatan untuk mendiskusikan pengamatan mereka dan menyelidiki pertanyaan. Harus dipahami pula bahwa tenaga ahli bisa nenek, paman, atau siapa saja yang telah menempuh perjalanan hidup secara ekstensif, atau orang yang memiliki pengalaman tertentu.
c.       Integrasikan keterampilan dengan menggunakan disiplin ilmu lain. Perbedaan antara fakta dan pendapat, dan fiksi dan cerita nyata dapat diajarkan juga di pelajaran sosial studies.
d.      Mencoba menyelidiki sumber. Guru harus mengajarkan cara menguji sumber informasi yang digunakan oleh pengarang sehingga mereka kritis untuk membaca lebih dari satu macam sumber sehingga para siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan berbagai perspektif.
e.       Mudahkan akses ke sumber bacaan. Guru harus memberikan informasi dimana mereka dapat mendapatkan bacaan yang mereka inginkan.
f.       Mengembangkan kriteria. Guru harus membantu para siswa untuk membuat kriteria mereka sendiri untuk mengevaluasi informasi di buku dan novel sejarah.

Resureksi dalam Pembelajaran Sejarah
            Dengan mengutip Walter Scott, Djokosujanto (2001:1) menguraikan fungsi novel sejarah adalah resureksi masa lalu, yaitu kemampuan untuk menghidupkan kembali masa lalu yang menjadi pokok ceritanya serta mampu memberikan informasi sejarah. Untuk dunia pendidikan, novel sejarah berfungsi dalam hal pembentukan manusia dan mendekatkan pada masa lalu bangsanya. Kelly (2008:1) yang berpendapat bahwa novel sejarah membuat siswa memiliki kesempatan seolah-olah mengalami sendiri peristiwa pada masa lalu, siswa dapat belajar bagaimana kebudayaannya, dan membangun kepedulian pada sejarah. Kelly (2008:1) merekomendasikan beberapa langkah dalam penggunaan novel sejarah dalam pembelajaran, yaitu proses seleksi novel, perencanaan dan persiapan guru, dan merancang aktivitas pengayaan.
Dalam buku teks, tokoh historis sering menjadi nampak sangat luar biasa dan gagah berani atau malah terlihat tidak punya peran sama sekali sehingga para siswa tidak melihat ”sosok” manusia yang memiliki karakteristik normal (Hertz, 2007). Para siswa tidak bisa memahami bahwa tokoh sejarah tersebut mempunyai cara pandang terhadap dunia yang sesuai dengan zamannya. Kemudian, para siswa tidak bisa menyerap gagasan dari tokoh historis sebagai orang-orang riil, sehingga sejarah menjadi lebih berbeda dibanding kenyataan (Hertz, 2007). Dalam pandangan Heartz, Novel sejarah dapat dijadikan alat untuk mengganggu berbagai mitos yang ada.
            Kebanyakan para siswa suka suatu cerita yang penuh dengan kegembiraan, petualangan dan tantangan; jika suatu novel sejarah ditulis dengan baik, maka hal–hal tersebut akan termuat didalamnya. Novel sejarah memiliki kelebihan dalam hal kedetilan dalam menyajikan data dan tema dan unsur-unsur lain yang perlu lebih di explorasi. Konflik yang ada dalam sejarah menjadi riil kepada siswa sebab tokoh didalamnya diperkenalkan pada dimensi manusia yang sebanarnya. Sukses dan kekalahan mereka menimbulkan suatu tanggapan emosional dari pembaca. Tanggapan ini dapat menggambarkan bahwa para siswa masuk dalam dunia masa lalu dan memiliki perspektif dalam suatu dimensi historis.
            Berikut merupakan beberapa pemahaman resureksi dalam sejarah berdasarkan pendapat Djokosujanto (2001:1), Heartz (2007: 3), dan Lindquist (2008: 1-3).
a.       Kemampuan untuk menghidupkan kembali masa lalu yang menjadi pokok ceritanya.
b.      Mendekatkan pada masa lalu bangsanya. Novel sejarah membantu memperkenalkan dan mengakrabkan suatu masyarakat pada masa lalu bangsanya dan dengan demikian menanamkan akar pada bangsanya.
c.       Kesempatan seolah-olah mengalami sendiri peristiwa pada masa lalu.
d.      Membantu ”others” dalam sejarah dirasakan nyata dan hadir dalam kelas. Tujuan novel sejarah adalah memungkinkan pembaca, melalui perspektif karakter-karakter di dalam cerita, merasakan seolah-olah berada di tempat kejadian.
e.       Melihat keterhubungan serta meningkatkan pemahaman tentang orang lain.
f.       Menyelidiki berbagai kebudayaan dan berbagai pandangan tentang kejadian tertentu.
g.      Memberikan makna pada berbagai pengalaman dalam sistem sosial, budaya, tempat dan berbagai hal lainnya yang abstrak.
h.      Memperdengarkan suara yang tidak terdengar dalam pola sejarah yang ”Grand History”.
i.        Mendapatkan pelajaran dari masa lalu mengenai rasa sedih, sakit, kekecewaan, kemenangan, dan mimpi.
j.        Media penumbuhkembangkan daya imajinasi. Sejarawan, misalnya, semata hanya akan menarasikan bahwa Gajahmada bepergian ke Bubat. Novelis akan bercerita lebih detail mengenai apa yang dikenakan oleh Sang Mahapatih, apa pula yang dikendarai, dimakan, dan dipikirkannya sepanjang perjalanan.
            Guru sejarah yang membawa novel sejarah kedalam pembelajaran sejarah di kelas telah membangun siswanya kedalam pemahaman baru tentang sejarah. Novel sejarah dapat melibatkan emosi siswa sebagaimana kognitifnya digunakan ketika memikirkan sejarah tersebut. Ada beberapa hal yang terjadi setelah guru menggunakan novel sejarah dalam pembelajaran (Hertz, 2008) yang merupakan manifestasi dari resureksi dalam pembelajaran sejarah, yaitu sebagai berikut.
a.       Siswa terbawa larut kedalam isi novel tersebut. Siswa menjadi lebih menyenangi sejarah. Siswa mulai untuk membuat kesimpulan mengenai kondisi geografis, organisasi pemerintahan, keyakinan agama, sikap sosial, tipe makanan, ukuran kota, alat transfortasi, distribusi kesejahteraan, kelas sosial, dan hukum.
b.      Siswa mulai mempertanyakan kebenaran fakta sejarah yang terdapat dalam novel sejarah tersebut sehingga melatih keterampilan berpikir kritis anak.
c.       Siswa jauh lebih mengingat apa yang terdapat dalam isi novel tersebut dibanding apa yang terdapat dalam buku teks sejarah.
d.      Siswa mendapatkan informasi sejarah lebih mudah dibanding dari buku teks karena dipahami dari plot cerita, karakter, dan seting novel tersebut.
e.       Siswa menjadi lebih sadar hubungan antara masa lalu dengan keadaan masyarakat dimana dia tinggal.
f.       Siswa mulai melihat bagaimana mempelajari masa lalu membantu mereka untuk memahami masa sekarang.
g.      Siswa mulai memahami keberanian yang dibutuhkan untuk menghadapi berbagai tantangan, menyadari resiko yang akan ditanggung dalam kehidupan sosial, siap menerima sebuah kekalahan, dan memahami faktor-faktor yang dibutuhkan untuk sukses.
h.      Siswa mulai menyadari proses dari suatu perubahan, kesadaran bahwa kehidupan saat ini pun akan berubah, dan mereka mulai melatih diri untuk beradaptasi dengan perubahan.
            Lindquist (2008:1) mengungkapkan bahwa menggunakan novel sejarah dalam pembelajaran sejarah ternyata membantunya mengintegrasikan kurikulum serta memperkaya pembelajaran sosial studies. Tentu saja, pengajaran dengan novel sejarah itu tidak berdiri sendiri namun terintegrasi dengn model pembelajaran yang menyeimbangkan antara fiksi dan fakta dan validitas penelitian sejarah. Lindquist (2008: 2-3) mengungkapkan terdapat tujuh alasan mengajar dengan menggunakan novel sejarah, yaitu sebagai berikut.
a.       Merangsang rasa ingin tahu siswa.
b.      Membangun kemampuan anak untuk dapat menganalogikan berbagai fakta sejarah dan membandingkannya dengan buku teks sejarah.
c.       Membantu siswa untuk mengungkap hal-hal yang detail.
d.      Membantu siswa untuk memahami sejarah lebih utuh. Dalam teks sejarah, penjelasan tentang tokoh-tokoh penting misalnya, hanya diuraikan dalam kalimat-kalimat yang pendek. Hal tersebut menyulitkan siswa untuk memahami karakteristik tokoh sejarah secara utuh.
e.       Novel sejarah menghadirkan berbagai isu yang kompleks dan mempromosikan berbagai pandangan yang beragam tentang fakta sejarah tertentu.
Menghubungkan pembelajaran IPS dengan kurikulum.

DAFTAR PUSTAKA
Abdulah, T. (1985). Ilmu Sejarah dan Historiografi (Arah dan Perspektif). Jakarta: Gramedia.
Ahmad, A.R. dan Norzaini, A. (editor). (2005). Bimbingan Menara Gading. Darul Ehsan (Malaysia).
Ahmad, A.R. dan Shaharom, S. (2005). Buku dan Pendidikan (Kearah Penghayatan Membaca). Yayasan Istana Abdulaziz (Kualalumpur, Malaysia).
Aliasar. (1998). Materi Kuliah: “Metodologi Penelitian.” IAIN Imam Bonjol Padang
Alisjahbana, S.T. (2008). Kalah dan Menang.  Jakarta: Dian Rakyat
Alwasilah, A.C. (2008). Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya
Aminuddin (2009). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Anderson, B. (1983) Immagined Communities, Reflection on the Origin and Spread of Nationalism, London: The Thetford Press, Ltd..
Arif, M. (2008). Desain Pembelajaran Sejarah berbasis Hiperteks. dalam Sejarah dalam Keberagaman (Penghormatan kepada Prof.Dr.Helius Sjamsuddin, Ph.D, M.A). Jurdik Sejarah UPI:  Bandung.
Arikunto, S. (1990). Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi. Rineka Cipta, Jakarta/
Ariyanto, Y. (2008). Milan Kundera, Adam Malik, dan “Proyek Lupa”. tersedia di http blog.liputan6.com [online]. Diakses tanggal 1 Agustus 2010.
Aslinda dan Leni. (2007). Pengantar Sosiolinguitik. Bandung: Refika Aditama
Banks, J.A. (1985). Teaching Strategies for the Sosial Studies. New York: Longman
Basuki K.S, S. (2006). Bumi Hangus. Jakarta: Pinus.
Beach and Marshal. (1991). Teaching literature in The Secondary School. Orlando: Harcout Bracejavanavi.
Benjamin. (1991). A Student Guide to History.New York (USA): St. Martin Press
Budianta, M. (2008). Representasi kaum Pinggiran dan Kapitalisme. Dalam buku Sastra Indonesia Modern (Kritik Postkolonial). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia
Budiman, M. (2008). Masalah Sudut Pandang dan Dilema Kritik Postkolonial. Dalam buku Sastra Indonesia Modern (Kritik Postkolonial). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia
Burke, P. (2003). Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Cahyani, I. (2005). Kemampuan Mendongeng Para Guru dalam meningkatkan kemampuan Berbahasa Anak. Dalam buku Membaca Itu Indah (Pemikiran dan Penghormatan terhadap Drs.H.Zulkabir. Bandung: UPI Press:
Carr, E.H. (1961). What Is History. New York: Penguin Book

Creswell, J.W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions. London: Sage Publications.

Damono, S.D. (2009). Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang. Jakarta: Depdikbud
Djahiri, H.A.K. (1990). Menulusuri Dunia Afektif; Lab.PPKN UPI.
Djokosujanto, A. (2001). Novel Sejarah Indonesia: Konvensi, Bentuk, Warna dan Pengarangnya. Jakarta : Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
Durachman, M. (2003). Kajian Prosa Fiksi Indonesia. Bandung. Jurdik Bahasa dan Sastra Indonesia
Egan, K. (1979). Memory, Imagination and Learning: Connected by the Story. New York: Oxford University Press.
Endratna. Sastra dan Novel Sejarah, sama-sama Imajinatif?. tersedia di http://edratna.wordpress.com/2007/12/23/sastra-dan-novel-sejarah-sama-sama-imajinatif. [online]. Diakses tanggal 15 April 2009.
Escarpit, R. (2008). Sosiologi Sastra, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Esten, M. (Ed). (2008). Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan. Bandung.: Penerbit Angkasa.
Esten, M. (1981). Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur. Bandung: Penerbit Angkasa.
Farid, H. (2008). Pramoedya dan Historiografi Indonesia. Dalam buku ”Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Faruk. (2002). Novel-Novel Indonesia Tradisi Balai Pustaka 1920-1942. Yogyakarta: Gama Media.
Foulcher, K. dan Toni, D. (2008). Sastra Indonesia Modern (Kritik Postkolonial). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia
Given, B. K. (2002). Brain Based Teaching. Bandung: Kaifa.
Gottschalk, L. (1985). Mengerti Sejarah. Jakarta. UI Press
Hakam, K. A. (2000). Pendidikan Nilai. Bandung: CV Maulana
Hamka.(1963). Tenggelamnya Kapal Van Der Wijjck. Jakarta. Bulan Bintang
Hasan, S.H. (1996) . Pendidikan Ilmu Sosial . Jakarta: Dirjendikti, Depdikbud Republik Indonesia.
--------------------------(1999) “Pendidikan Sejarah Untuk Membangun Manusia Baru Indonesia”, dalam Mimbar Pendidikan, Nomor 2 Tahun XVIII, Bandung IKIP Bandung, hlm.4-11.

Hatley, B. (2008). Postkolonialitas danm Perempuan dalam Sastra Indonesia Modern. Dalam buku Sastra Indonesia Modern (Kritik Postkolonial). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Herlinatiens. (2006). Koella: Bersamamu dan Terluka. Yogyakarta: Pinus Books
Hermawan, S. (2003). Kompleksitas Penggunaan Teks Sastra sebagai sumber Kajian Sejarah: Catatan dari Kajian Hikayat bandjar J.J.Ras. Makalah tidak dipublikasikan
Hertz, S. K. Using Historical Fiction in The History Classroom. tersedia di www.yale-new haven.edu[online]. Diakses tanggal 15 April 2009
Hill, W.F. (2009). Theories of Learning (Teori-teori Pembelajaran, Konsepsi, Komparasi, dan Signifikansi). Bandung: Nusa Media.
Hidayat, Bagja. (2009). Apabila Sejarah Menemukan Wajah. tersedia di www.ruangbaca.com .[online]. Diakses tanggal 1 Agustus 2010.
Hunter, T. (2008). Indo sebagai Orang Lain. Dalam buku Sastra Indonesia Modern (Kritik Postkolonial). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia
Isjoni. (2007). Pembelajaran Sejarah pada Satuan Pendidikan. Alfabeta: Bandung.
Ismaun (2005).  Filsafat Sejarah: Sebuah Paparan Pengantar. Bandung Historia Utama Press.
---------. (2000). Pengantar Ilmu Sejarah. Modul Jurusan Pendidikan Sejarah UPI
Jabrohim (Ed). (2002). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita
Jarolimek, J. (1986). Sosial Studies in Elemetary Eduction. New York (USA): Macmillan Publishing.
Kelana, P. (1983). Ibu Sinder. Jakarta: Sinar Harapan.
 ------------------. (1992). Subang Zamrud Nurhayati. Jakarta: Gramedia.
Kelly, D. Using Literature to Teach History: An Eric/ChESS Sample. tersedia di http://www.oah.org/pubs/magazine/literature/kelly.html.25  Mei 2009. [online]. Diakses tanggal 15 April 2009
Kartodirdjo, S. (1992) Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia.
-------------------------. (1982). Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia. Jakarta: Gramedia
Kuntowijoyo. (1995). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: PT  Tiara Wacana.
----------------. (2005). Metodologi Sejarah. Yogyakarta. PT Tiara Wacana
----------------. (2008). Penjelasan Sejarah. Yogyakarta. PT Tiara Wacana
Levstik, Linda S and Keith C. (1997). Doing History. New Jersey (USA): Lawrence Publisher
Lee, P.J. (1984).  Learning History. Liverpool (Britain): Heineman Educational Book
Lindquist, T. (2008). Why and How I Teach with Historical Fiction. tersedia di http www.teacher.scholastic.com [online]. Diakses tanggal 15 April 2009.
Lincoln, Y.S. & E.G. Guba. (1985). Naturalistic Inquiry. Beverly Hills: Sage Publications

Mahayana, M.S. (2009). Fakta Dan Fiksi : Pertalian Sastra Dan Sejarah. Tersedia di http mahayana-mahadewa.com. [online]. Diakses tanggal 1 Agustus 2010.

Maier, H. (2008) Suara Gagap dan Pintu yang Berderit (Tulisan Pramoedya dalam Bahasa Melayu). Dalam buku Sastra Indonesia Modern (Kritik Postkolonial). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Mangunwijaya, J.B. (1994). Roro Mendut. Gramedia. Jakarta.
Marjohan.(2009). School Healing (Menyembuhkan Problem Sekolah). Yogyakarta: Pustaka Iman Madani.
Massofa. (2009). Aliran Sastra. tersedia di http. massofa.wordpress.com. [online]. Diakses tanggal 1 Agustus 2010.
Miles, M.B. dan A.M.l Huberman. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Moeis, A. (1984). Robert Anak Surapati. Jakarta: PT Balai Pustaka
Moleong, L. J. (2006). Metode penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda
Muhammad, R. (2008). Sastra dan Sejarah. tersedia di http.  www.pawonsastra.blogspot.com. [online]. Diakses tanggal 15 April 2009.
Muhadjir, N. (1998). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Nasution, S. (1996) . Metodologi Penelitian Naturalistik Kualitatif . Bandung: Tarsito.
Prayitno. (1984). Nilai dan pendidikan. Kertas kerja Seminar Pendidikan Nilai, anjuran Pusat Kurikulum dan Sarana Pendidikan, Balitbang Dikbud.
Purwanto. (2006). Gagalnya Historiografi Indonesia Sentris. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Ratna, N.K. (2008). Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Respati, T. (2009). Sejarah: Sekilas Pandang. Tersedia di http. tedirespati.blogspot.com. [online]. Diakses tanggal 1 Agustus 2010.
Robertson, I. (2009). Misteri Pikiran Manusia. Yogyakarta: Gerailmu.
Rusyana, R. (1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung:Diponogoro.
Salam, A. (2006). Metode Penelitian Kualitatif. Program Pasca Sarjana UNM, Makassar
Said, E. (2001). Orientalisme. Bandung: Penerbit Putaka
Sarup, M. (2008). Postrukturalisme dan Posmodernisme. Bandung. Jalasutra.
Samekto. (1998). Ikhtisar Sejarah Kesusasteraan Inggris. Jakarta: Daya Widya
Segers, R. (2000). Evaluasi Teks Sastra, Sebuah Penelitian Eksperimental Berdasarkan Teori Semiotik dan Estetika Resepsi. Yogyakarta: Adicita.
Sharma, S.K. (2008). Teaching of History. Lotus Press (New Delhi, India)
Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak
-----------------------. (2008). Pembelajaran Sejarah: Refleksi dan Prospek. Dalam Sejarah Sebuah Penilaian (Refleksi 70 Tahun Prof. Dr. H.Asmawi Zainul, M.Ed. Jurdik Sejarah UPI: Bandung.
Soedarso. (2006). Speed Reading: Sistem membaca cepat dan Efektif. Gramedia Pustaka Utama (Jakarta).
Sugito, Z.R. (2008). Mistifikasi Novel Sejarah. Harian Jawa Pos tanggal 18 Mei 2008.
Suharno. (2009). Membudayakan Penulisan Novel Sejarah. Tersedia di http. staff.undip.ac.id. [online]. Diakses tanggal 1 Agustus 2010.
Sumantri, E. dan Sofyan, S. (2007). Pendidikan nilai Kontemporer. Bandung: Citra Praya.
Supardan, D. (2008). Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta: Bumi Aksara
----------------------. (2004). Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendekatan Multikultural dan Perpektif Sejarah Lokal, Nasional, Global Untuk Integrasi Bangsa. (Studi Kuasi Eksperimental Terhadap Siswa SMU di Kota Bandung). Desertasi Doktoral Sekolah Pascasajana UPI: Tidak dipublikasikan
Suprayogo, I. dan Tobroni. (2001). Metodologi Penelitian sosial Agama. Bandung Rosdakarya
Supriatna, N. (2007). Rekontruksi Pembelajaran Sejarah Kritis. Historia Utama Press. Bandung.
----------------. (2000). Pengajaran Sejarah Yang Konstruktivistik . Historia; Jurnal Pendidikan Sejarah 11 (3).
Surur, M. Mengais Realitas dalam Novel Sejarah. Harian Jawa Pos tanggal 30 Maret 2008.
Sutherland, H. (2008) Meneliti Sejarah Penulisan Sejarah. Dalam Nordholt (Ed). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta. Yayasan obor
Sutikno, M.S. (2007). Pendidikan Sekarang dan Masa Depan (Suatu Reflekasi untuk Mewujudkan Pendidikan yang Bermakna. NTP Press: Mataram.
Tadjudin, M. (2004). Kumpulan Terjemahan Karya Sastra Rusia. Bandung: PT Alumni
Tarigan, H.G. (1995). Dasar-Dasar Psikosastra. Bandung; Angkasa.

Tickell, P. (2008). Cinta di Masa Kolonialisme (Ras dan Percintaan dalam Sebuah Novel Indonesia Awal) Dalam buku Sastra Indonesia Modern (Kritik Postkolonial). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia
Toer, P.A. (2001). Bumi Manusia. Hastra Mitra
------------. (1996). Anak Semua Bangsa. Hastra Mitra
------------. (1999). Arok Dedes. Hastra Mitra.
-----------. (2003). Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Jakarta: Lentera Dipantara
Weiner, R.G. (2001). History: Teaching and Methode. Texas Tech University
White, H. (1985). Metahistory: The Historical Imagination In nineteenth-Centrury Europe. London: The Jhon Hopkins University Press
Wineburg, S. (2006). Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu. Jakarta: Yaysan Obor Indonesia.
Winkel, W.S. (1987). Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT Gramedia.
Wiriaatmadja, R. (2002). Pendidikan Sejarah, Sikap kebangsaan, identitas nasional, sejarah lokal, masyarakat multikulktural. Historia Utama Press: Bandung.
-----------------------------. (2009). Sastra dalam Pembelajaran Sejarah. Makalah. Tidak dipublikasikan.